Yang
saya sebut bertani konvensional adalah bertani seperti yang dilakukan
oleh para petani sekarang. Sekali menanam, panen sekali dan untuk ini
diperlukan tenaga kerja yang intensif, biaya benih, pupuk dan
obat-obatan.
Cara
bertani demikian sebenarnya belum terlalu lama, sebelum Perang Dunia II
umumnya petani tidak mengenal pupuk apalagi insektisida seperti yang
mereka kenal sekarang. Dunia mengenal pupuk kimia setelah produksi
bahan-bahan kimia untuk keperluan perang di masa PD II tidak habis
terjual, maka bahan-bahan kimia tersebut dijuallah ke para petani dalam
bentuk pupuk !
Akibatnya
tanah menjadi seperti orang yang kecanduan, bila tidak diberi pupuk
produksi langsung turun – tetapi bila terus diberi pupuk – kualitas
tanah juga terus menurun secara gradual, dan dalam jangka panjang
produktifitas lahan juga pasti turun.
Ketika
biaya bertani meningkat pesat karena ongkos pupuk dan obat-obatan
kimia, sementara hasil pertaniannya menurun – maka disitulah penghasilan
petani menjadi tidak menarik dan mereka rame-rame menjual lahannya ke
kelompok masyarakat yang bukan petani dan tidak terlalu eager untuk memakmurkan lahan pertanian. Dari sinilah muncul masalah besar produksi pangan kita secara nasional.
Bila
petani Indonesia rata-rata memiliki lahan 0.25 hektar, maka di daerah
yang paling subur sekalipun mereka hanya akan panen padi tiga kali.
Katakanlah masing-masingnya 6 ton/hektar (rata-rata nasional hanya 5.1
ton/hektar), petani dengan 0.25 ha lahan hanya akan mendapatkan 1.5 ton
gabah sekali panen. Dengan harga gabah sekarang dikisaran Rp 5,000/kg;
petani hanya memperoleh hasil penjualan gabahnya Rp 7.5 juta per panen.
Tiga kali panen berarti mendapatkan Rp 22.5 juta.
Tetapi
ingat bahwa Rp 22.5 juta ini adalah penjualan kotor, setelah dipotong
biaya tenaga kerja, bibit, pupuk dan obat-obatan katakanlah 50 %-nya,
maka petani dengan luas lahan 0.25 hektar yang subur hanya akan
mendapatkan pendapatan bersih Rp 11.25 juta setahun (tiga kali panen)
atau Rp 937,500,- bila dirata-rata bulanan.
Gaji
pegawai negeri terendah-pun kini Rp 1,323,000 per bulan (golongan 1 A
dengan masa kerja nol tahun), jauh lebih tinggi dari petani rata-rata
yang memiliki lahan 0.25 hektar. Maka tidak mengherankan bila para
petani hingga kini terus rajin menjual lahannya untuk membiayai anaknya
masuk menjadi pegawai negeri dlsb.
Bila arus ini dibiarkan terus, maka akan semakin banyak lahan-lahan petani yang jatuh ke tangan orang kaya hanya untuk sekedar klangenan
(hiburan), mereka tidak antusias mengolahnya dan malah lebih sering
hanya sebagai investasi belaka. Ketahanan pangan nasional akan terancam
bila praktek demikian dibiarkan.
Lantas apa solusinya ? berikut adalah setidaknya dua
solusi yang kami padukan dari multi disiplin dan masing-masing keahlian
telah memulai mencobanya di lapangan atau mulai melakukan
pembibitannya.
Pertama
adalah Go Organic – ini yang sudah dicoba oleh team kami di Jawa-Tengah
dengan hasil yang sangat baik. Bertani organic tidak harus mahal,
justru sebaliknya bisa menjadi murah karena tidak ada pupuk dan
obat-obatan kimia yang perlu dibeli mahal, cukup membuat sendiri dengan
komponen microba yang sangat murah.
Menurut
hitungan team kami bahkan setelah sekitar 15 kali panen (5 tahun),
pupuk-pupuk organic-pun tidak diperlukan sama sekali. Tanah sudah
kembali subur alami kembali ke pra PD II sebelum pupuk kimia dikenal !
Kedua
melengkapi pojok-pojok sawah petani dengan tanaman jangka panjang yang
diambil buahnya. Ide kami adalah bisa kurma, zaitun, anggur atau
kombinasi diantaranya. Petani hanya perlu menanam sekali tetapi akan
terus memetik hasilnya sampai anak turunan mereka.
Dengan
dua langkah ini saja matematika petani sudah akan jauh berubah. Dengan
hasil yang dua kali lipat dan biaya yang separuh dari sebelumnya, maka
bertani sudah bisa kembali menarik.
Hasil
dua kali lipat ini ditunjukkan oleh beberapa kali panen padi organik
kami di Boyolali yang berada di sekitar angka 12 ton/hektar atau 3 ton
untuk tanah 0.25 hektar. Penjualan kotor padi petani menjadi 3x3,000xRp
5,000 = Rp 45,000,000. Setelah dipotong biaya tenaga kerja dan pupuk
organik Rp 11,250,000, petani dengan 0.25 ha lahan akan memiliki
penghasilan bersih Rp 33.75 juta setahun atau rata-rata Rp 2,812,500
sebulan.
Dengan
angka ini saja bertani sudah bisa kembali lebih menarik ketimbang
memaksakan diri menjual sawah untuk biaya anak masuk menjadi pegawai.
Hasil bertani akan semakin menarik, manakala poohon-pohon jangka panjang
yang ditanam tersebut mulai berbuah beberapa tahun kemudian.
Dari
sinilah kami melihat masa depan cerah bagi petani bisa kembali kita
visikan. Bila masa depan petani cerah, maka ketahanan pangan
nasional-pun insyaAllah akan aman.
Mudahkah
ini ?, tentu tidak ada yang mudah, semuanya membutuhkan kerja keras
yang memerlukan kesabaran. Tetapi semua itu mungkin dilakukan karena
memang sudah dicoba. Bahkan bagi masyarakat yang membutuhkan pelatihan
untuk bertani secara organic ini, unit usaha kami di Boyolali- Jawa
Tengah insyaAllah bisa membantu.
Lebih
dari ikhtiar yang bersifat fisik, masyarakat juga perlu diajak untuk
meningkatkan keimanan dan ketakwaannya secara terus menerus. Hanya
dengan iman dan takwa inilah negeri ini akan memperoleh keberkahanNya,
dan di negeri yang diberkahi, hasil panenan itu banyak dan enak (QS
2:58). InsyaAllah.
Oleh : Muhaimin Iqbal
sumber
: http://www.geraidinar.com/index.php/using-joomla/extensions/components/content-component/article-categories/81-gd-articles/entrepreneurship/1312-matematika-petani