Jumat, 27 September 2013

Matematika Petani…

Di salah satu desa paling subur di Magelang - Jawa Tengah, lurah setempat mengaku tidak bisa membendung aliran penjualan tanah sawah para petani. Para petani lebih tertarik untuk menjual sawah-sawah mereka untuk sekedar membiayai anaknya masuk menjadi pegawai negeri, polisi atau tentara. Mengapa demikian ? dengan cara bertani konvensional, pendapatan petani memang tidak menarik. Tetapi petani bukan tanpa harapan, ada peluang besar menanti mereka.

Yang saya sebut bertani konvensional adalah bertani seperti yang dilakukan oleh para petani sekarang. Sekali menanam, panen sekali dan untuk ini diperlukan tenaga kerja yang intensif, biaya benih, pupuk dan obat-obatan.

Cara bertani demikian sebenarnya belum terlalu lama, sebelum Perang Dunia II umumnya petani tidak mengenal pupuk apalagi insektisida seperti yang mereka kenal sekarang. Dunia mengenal pupuk kimia setelah produksi bahan-bahan kimia untuk keperluan perang di masa PD II tidak habis terjual, maka bahan-bahan kimia tersebut dijuallah ke para petani dalam bentuk pupuk !

Akibatnya tanah menjadi seperti orang yang kecanduan, bila tidak diberi pupuk produksi langsung turun – tetapi bila terus diberi pupuk – kualitas tanah juga terus menurun secara gradual, dan dalam jangka panjang produktifitas lahan juga pasti turun.

Ketika biaya bertani meningkat pesat karena ongkos pupuk dan obat-obatan kimia, sementara hasil pertaniannya menurun – maka disitulah penghasilan petani menjadi tidak menarik dan mereka rame-rame menjual lahannya ke kelompok masyarakat yang bukan petani dan tidak terlalu eager untuk memakmurkan lahan pertanian. Dari sinilah muncul masalah besar produksi pangan kita secara nasional.

Bila petani Indonesia rata-rata memiliki lahan 0.25 hektar, maka di daerah yang paling subur sekalipun mereka hanya akan panen padi tiga kali. Katakanlah masing-masingnya 6 ton/hektar (rata-rata nasional hanya 5.1 ton/hektar), petani dengan 0.25 ha lahan hanya akan mendapatkan 1.5 ton gabah sekali panen. Dengan harga gabah sekarang dikisaran Rp 5,000/kg; petani hanya memperoleh hasil penjualan gabahnya Rp 7.5 juta per panen. Tiga kali panen berarti mendapatkan Rp 22.5 juta.

Tetapi ingat bahwa Rp 22.5 juta ini adalah penjualan kotor, setelah dipotong biaya tenaga kerja, bibit, pupuk dan obat-obatan katakanlah 50 %-nya, maka petani dengan luas lahan 0.25 hektar yang subur hanya akan mendapatkan pendapatan bersih Rp 11.25 juta setahun (tiga kali panen) atau Rp 937,500,- bila dirata-rata bulanan.

Gaji pegawai negeri terendah-pun kini Rp 1,323,000 per bulan (golongan 1 A dengan masa kerja nol tahun), jauh lebih tinggi dari petani rata-rata yang memiliki lahan 0.25 hektar. Maka tidak mengherankan bila para petani hingga kini terus rajin menjual lahannya untuk membiayai anaknya masuk menjadi pegawai negeri dlsb.

Bila arus ini dibiarkan terus, maka akan semakin banyak lahan-lahan petani yang jatuh ke tangan orang kaya hanya untuk sekedar klangenan (hiburan), mereka tidak antusias mengolahnya dan malah lebih sering hanya sebagai investasi belaka. Ketahanan pangan nasional akan terancam bila praktek demikian dibiarkan.

Lantas apa solusinya ? berikut adalah setidaknya  dua solusi yang kami padukan dari multi disiplin dan masing-masing keahlian telah memulai mencobanya di lapangan atau mulai melakukan pembibitannya.

Pertama adalah Go Organic – ini yang sudah dicoba oleh team kami di Jawa-Tengah dengan hasil yang sangat baik. Bertani organic tidak harus mahal, justru sebaliknya bisa menjadi murah karena tidak ada pupuk dan obat-obatan kimia yang perlu dibeli mahal, cukup membuat sendiri dengan komponen microba yang sangat murah.

Menurut hitungan team kami bahkan setelah sekitar 15 kali panen (5 tahun), pupuk-pupuk organic-pun tidak diperlukan sama sekali. Tanah sudah kembali subur alami kembali ke pra PD II sebelum pupuk kimia dikenal !

Kedua melengkapi pojok-pojok sawah petani dengan tanaman jangka panjang yang diambil buahnya. Ide kami adalah bisa kurma, zaitun, anggur atau kombinasi diantaranya. Petani hanya perlu menanam sekali tetapi akan terus memetik hasilnya sampai anak turunan mereka.

Dengan dua langkah ini saja matematika petani sudah akan jauh berubah. Dengan hasil yang dua kali lipat dan biaya yang separuh dari sebelumnya, maka bertani sudah bisa kembali menarik.

Hasil dua kali lipat ini ditunjukkan oleh beberapa kali panen padi organik kami di Boyolali yang berada di sekitar angka 12 ton/hektar atau 3 ton untuk tanah 0.25 hektar. Penjualan kotor padi petani menjadi 3x3,000xRp 5,000 = Rp 45,000,000. Setelah dipotong biaya tenaga kerja dan pupuk organik Rp 11,250,000, petani dengan 0.25 ha lahan akan memiliki penghasilan bersih Rp 33.75 juta setahun atau rata-rata Rp 2,812,500 sebulan.

Dengan angka ini saja bertani sudah bisa kembali lebih menarik ketimbang memaksakan diri menjual sawah untuk biaya anak masuk menjadi pegawai. Hasil bertani akan semakin menarik, manakala poohon-pohon jangka panjang yang ditanam tersebut mulai berbuah beberapa tahun kemudian.

Dari sinilah kami melihat masa depan cerah bagi petani bisa kembali kita visikan. Bila masa depan petani cerah, maka ketahanan pangan nasional-pun insyaAllah akan aman.

Mudahkah ini ?, tentu tidak ada yang mudah, semuanya membutuhkan kerja keras yang memerlukan kesabaran. Tetapi semua itu mungkin dilakukan karena memang sudah dicoba. Bahkan bagi masyarakat yang membutuhkan pelatihan untuk bertani secara organic ini, unit usaha kami di Boyolali- Jawa Tengah insyaAllah bisa membantu.

Lebih dari ikhtiar yang bersifat fisik, masyarakat juga perlu diajak untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaannya secara terus menerus. Hanya dengan iman dan takwa inilah negeri ini akan memperoleh keberkahanNya, dan di negeri yang diberkahi, hasil panenan itu banyak dan enak (QS 2:58). InsyaAllah.
Oleh : Muhaimin Iqbal  
sumber : http://www.geraidinar.com/index.php/using-joomla/extensions/components/content-component/article-categories/81-gd-articles/entrepreneurship/1312-matematika-petani