Perkembangan Sistem Ekonomi Sebelum
Orde Baru
Sejak
berdirinya negera Republik Indonesia, banyak sudah tokoh-tokoh negara pada saat
itu telah merumuskan bentuk perekonomian yang teapt bagi bangsa Indonesia, baik
secara individu maupun melalui diskusi kelompok.
Sebagai contoh, Bung Hatta sendiri,
semasa hidupnya mencetuskan ide, bahwa dasar perekonomian Indonesia yang sesuai
dengan cita-cita tolon menolong adalah koperasi (Moh. Hatta dalam Sri-Edi
Swasono, 1985), namun bukan berarti semua kegiatan ekonomi harus dilakukan
secara koperasi, pemaksaan terhadap bentuk ini justru telah melanggar dasar
ekonomi koperasi.
Demikian juga dengan tokoh ekonomi
Indonesia saat itu, Sumitro Djojohadikusumo, dalam pidatonya di negara Amerika
tahun 1949, menegaskan bahwa yang dicita-citakan adalah ekonomi semacam
campuran. Namun demikian dalam proses perkembangan berikutnya disepakatilah
suatu bentuk ekonomi baru yang dinamakan sebagai Sistem Ekonomi Pancasila yang
didalamnya mengandung unsur penting yang disebut Demokrasi Ekonomi.
Terlepas dari sejarah yang akan
menceritakan keadaan yang sesungguhnya pernah terjadi di Indonesia, maka
menurut UUD’45, sistem perekonomian tercermin dalam pasal-pasal 23, 27, 33, dan
34.
Demokrasi Ekonomi dipilih, karena
memiliki cirri-ciri positif yang diantaranya adalah ( Suroso, 1993 ) :
·
Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan
·
Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara
·
Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
·
Sumber-sumber kekayaan dan keuangan
negara digunakan dengan permufakatan lembaga-lembaga perwakilan rakyat, serta
pengawasan terhadap kebijaksanaanya ada pada lembaga-lembaga perwakilan pula
·
Warga negara memiliki kebebasan dalam
memilih pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan dan
penghidupan yang layak
·
Hak milik perorangan diakui dan
pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat
·
Potensi, inisiatif dan daya kreasi
setiap warga negara dikembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak
merugikan kepentingan umum
Fakir
miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara
Dengan
demikian di dalam perekonomian Indonesia tidak mengijinkan
adanya :
Free fiht liberalism
, yakni
adanya kebebasan usaha yang tidak terkendalikan sehingga memungkinkan
terjadinya eksploitasi kaum ekonomi yang lemah, dengan akibat semakin bertambah
luasnya jurang pemisah si kaya dan si miskin.
Etatisme ,
yakni keikut sertaan pemerintah yang terlalu dominan sehingga mematikan
motifasi dan kreasi dari masyarakat untuk berkemban dan bersaing secara sehat.
Monopoli ,
sesuatu bentuk pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok tertentu, sehingga
tidak memberikan pilihan lain pada konsumen untuk tidak mengikuti ‘keinginan
sang monopoli’.
Meskipun
pada awal perkembangannya perekonomian Indonesia menganut sistem ekonomi
Pancasila. Ekonomi Demokrasi, dan ‘mungkin campuran’, namun bukan berarti
sistem perekonomian liberalis dan etatisme tidak pernah terjadi di Indonesia.
Awal tahun 1950-an sampai dengan tahun 1957-an merupakan bukti sejarah adanya
corak liberalis dalam perekonomian Indonesia. Demikian juga dengan sistem
etatisme, pernah juga mewarnai corak perekonomian di tahun 1960-an sampai
dengan masa orde baru.
Keadaan
ekonomi Indonesia antara tahun 1950 sampai dengan tahun 1965-an sebenarnya
telah diisi dengan beberapa program dan rencana ekonomi pemerintah. Diantara
program-program tersebut adalah :
Ø Program
Banteng tahun 1950, yang bertujuan membantu pengusaha pribumi
Ø Program
/ Sumitro Plan tahun 1951
Ø Rencana
Lima Tahun Pertama, tahun 1955 – 1960
Ø Rencana
Delapan Tahun
Namun
demikian kesemua program dan rencana tersebut tidak memberikan hasil yang
Berarti bagi perekonomian
Indonesia. Beberapa factor yang menyebabkan kegagalan adalah :
v Program-program
tersebut disusun oleh tokoh-tokoh ang relatif bukan bidangnya, namun oleh tokoh
politik, dengan demikian keputusan-keputusan yang dibuat cenderung menitik
beratkan pada masalah politik, dan bukannya masalah ekonomi. Hal ini dimengerti
mengingatkan pada masa-masa ini kepentingan politik tampak lebih dominan,
seperti mengembalikan negara Indonesia ke negara kesatuan, usaha mengembalikan
negara Indonesia ke negara kesatuan, usaha mengembalikan Irian Barat, menumpas
pemberontakan di daerah-daerah, dan masalah politik sejenisnya.
v Akibat
lanjut dari keadaan di atas, dana negara yang seharusnya dialokasikan untuk
kepentingan politik dan perang.
v Faktor
berikutnya adalah, terlalu pendeknya masa kerja setiap cabinet yang dibentuk
(sistem parlementer saat itu). Tercatat tidak kurang dari 13 kali cabinet
berganti saat itu. Akibatnya program-program dan rencana ekonomi yang telah
disusun masing-masing kabinet tidak dapat dijalankan dengan tuntas, kalau tidak
ingin disebut tidak sempat berjalan.
v Disamping
itu program dan rencana yang disusun kurang memperhatikan potensi dan aspirasi
dari berbagai pihak. Disamping keputusan individu/pribadi, dan partai lebih
dominan dari pada kepentingan pemerintah dan negara.
v Adanya
kecenderungan terpengaruh untuk menggunakan sistem perekonomian yang tidak
sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia (liberalis, 1950 – 1957) dan
etatisme (1958 – 1965)
Akibat
yang ditimbulkan dari sistem etatisme yang pernah ‘terjadi’ di Indonesia pada
Periode tersebut dapat dilihat pada
bukti-bukti berikut :
·
Semakin rusaknya sarana-sarana produksi
dan komunikasi, yang membawa dampak menurunkan nilai eksport kita
·
Hutang luar negeri yang justru
dipergunakan untuk proyek ‘Mercu Suar’
·
Defisit anggaran negara yang makin
besar, dan justru ditutup dengan mencetak uang baru, sehingga inflasi yang
tinggi tidak dapat dicegah kembali.
·
Keadaan tersebut masih diperparah dengan
laju pertumbuhan penduduk (2,8 %) yang lebuh besar dari laju pertumbuhan
ekonomi saat itu, yakni sebesar 2,2 %.
Disadur
dari buku digital e-learning@gunadarma.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar