Selasa, 25 Februari 2014

Menjadi Yang 1 %


Dalam suatu hadits, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda “Manusia itu bagaikan seratus unta, hampir-hampir tidak engkau temukan satupun rahilah  (HR. Bukhari). Lantas apa rahilah itu ?, dia adalah unta yang enak untuk ditunggangi, kuat mengangkat beban yang berat, kuat untuk melakukan perjalanan yang sangat jauh dan enak pula dipandang mata. Yang demikian itu jumlahnya sedikit, tidak lebih dari 1 %.

Bisa kita bayangkan di era Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sampai berabad-abad kemudian. Perjalanan dagang maupun perjalanan perang dengan menempuh perjalanan yang sangat jauh - ratusan kilometer, maka tidak sembarang unta bisa menemani perjalanan-perjalanan berat tersebut. Hanya rahilah – unta pilihan, satu dari seratus unta – yang dapat menanggung beban berat perjalanan panjang seperti ini.

Apa hubungannya rahilah ini dengan kita – kok kita diibaratkan dengan unta tersebut ? manusia seperti kita ini memang juga demikian, dari sekian banyak manusia yang ada – yang berkwalitas hanya sangat sedikit, tidak lebih satu dari setiap seratus orang.

Seperti masuk perguruan tinggi terbaik, fakultas terbaik – dari setiap satu kursi diperebutkan oleh seratus orang, maka yang masuk tersebutlah yang terbaik di antara teman-teamannya. Seperti calon pengusaha, seratus orang ikut pelatihan usaha dan berniat untuk menjadi pengusaha – tetapi akhirnya yang benar-benar menjadi pengusaha juga amat sedikit, tidak lebih dari satu orang dari setiap seratus calon pengusaha.

Bahkan saya khawatir, melihat fenomena yang terjadi di negeri ini dengan korupsi dan penyalah gunaan kekuasaan yang ada – sangat bisa jadi yang kini terpilih menjadi anggota legislatif, menjadi eksekutif dan bahkan juga puncak yudikatif-pun bukan orang-orang pilihan, bukan rahilah.

Rahilah hanya ada 1 % dari mereka, dari setiap seratus anggota legislatif hanya ada satu yang benar-benar baik. Dari setiap seratus kepala daerah, hanya ada satu yang benar-benar baik, dst. Anda bisa cek ini dengan spontanitas, dari ratusan kepala daerah yang ada, siapa yang baik di benak Anda ? tidak lebih satu atau dua nama saja. Dari ratusan anggota dewan yang terhormat, siapa yang baik di benak Anda ? belum tentu Anda mengenal satu orang-pun dari mereka !

Walhasil ‘rahilah’ itu memang sangat sedikit di antara kita, ‘rahilah-rahilah’ di bidang apapun, baik itu di bidang pendidikan, ekonomi, usaha, politik, pemikiran dlsb.

Tetapi sangat sedikit bukan berarti tidak ada, dan disinilah peluang terbaik bagi kita semua untuk menjadi ‘rahilah’ di bidang kita masing-masing. Bila di negeri ini ada sekitar 200 juta muslim, maka ada peluang untuk 2 juta muslim di negeri ini menjadi ‘rahilah’ – yaitu orang-orang terbaik di bidangnya masing-masing.

Menjadi yang terbaik ini bukan hanya keinginan atau kebutuhan kita, tetapi juga perintah.

Ibnu ‘Abbas menceritakan ; “ Tatkala turun ayat :“Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu orang kafir …(Al Anfal : 65)”. Maka diwajibkan kepada mereka tidak ada seorangpun yang lari dari (menghadapi) sepuluh orang musuh. Abu Sufyan berulang kali mengatakan : “Jangan sampai ada yang lari dua puluh orang dari (menghadapi) dua ratus orang (musuh)”. Kemudian turunlah ayat : “Sekarang Allah telah meringankan kepadamu…(Al Anfal 66)”.  Maka diwajibkan jangan sampai ada yang lari seratus orang dari (menghadapi) dua ratus orang (musuh)…” (HR. Bukhari).

Jadi dahulunya setiap seorang yang beriman, dia harus mampu menghadapi dan tidak boleh lari dari sepuluh orang musuh. Kemudian diringankan menjadi satu orang beriman tidak boleh lari dari dua  orang musuh ( seratus orang melawan dua ratus orang musuh). Yang namanya di-‘ringankan’ itu pasti menyangkut kewajiban, yang semula ada kewajiban yang berat (1 lawan 10) kemudian diringankan menjadi kewajiban yang lebih ringan (1 lawan 2).

Sekarang bila kita lihat realitanya di lapangan, yang terjadi malah sebaliknya. Umat muslim yang jumlahnya mayoritas di negeri ini, dalam dunia ekonomi dan perdagangan dipecundangi oleh non-muslim yang berjumlah sedikit. Dalam dunia politik, muslim yang sangat banyak ini hanya dianggap sebagai angka untuk perolehan suara. Setelah suaranya diperoleh, tidak lagi menjadi fokus para yang terpilih untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dasar muslim ini seperti kebutuhan akan system keuangan/permodalan yang bebas riba, kebutuhan akan makanan dan obat-obatan yang jelas kehalalannya dlsb.

Dalam situasi seperti ini, masihkah kita bisa menjadi ‘rahilah’ di bidang kita masing-masing ? InsyaAllah masih bisa, bila ada satu orang di setiap 100 orang muslim yang mau serius menempuh jalannya. Seperti apa jalannya ?, ya seperti yang disebutkan dalam rangkaian ayat-ayat tersebut di atas.

Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu. Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta (menolong) orang-orang yang sabar.” (QS Al Anfal 64-66)

Jalan untuk mencapai keunggulan itu adalah dengan beriman mengikuti Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan bersabar. Maka dengan selalu memperbaiki dan meningkatkan keimanan kita, meningkatkan kesabaran-kesabaran di bidang kita, insyaAllah sebagian kita akan bisa menjadi ‘rahilah’ di bidang masing-masing.

Meskipun rahilah hanya satu dari setiap seratus (1 %), tetapi di tengah muslim Indonesia yang jumlahnya 200-an juta – insyaAllah masih akan bisa hadir 2 juta-an ‘rahilah’. Semoga diantaranya  adalah kita semua yang mendapatkan motivasi ini, kemudian menempuh jalannya dengan terus meningkatkan keimanan dan kesabaran. InsyaAllah.

oleh : Muhaimin Iqbal


Sabtu, 22 Februari 2014

Generasi (Tidak) Galau…


Selama empat tahun perusahaan keuangan global Credit Suisse secara berturut-turut mengadakan survey terhadap generasi muda dunia di rentang usia 16-25 tahun. Sample-nya diambilkan dari empat negara yaitu Swiss, Amerika Serikat, Brasil dan Singapura. Laporan mereka dituangkan dalam apa yang mereka sebut Youth Barometer, yang secara umum menyimpulkan generasi muda dunia ini semakin galau dengan masa depan dan hari tuanya.

Di Singapore yang pengangguran pemudanya hanya 12.9 %, hanya 45 % pemudanya yang optimis dengan masa depannya. Di Amerika Serikat pengangguran pemudanya 16.4 %, tetapi 50 % dari pemuda tersebut tidak optimis tentang masa depannya. Bahkan di negara dengan tingkat pengangguran pemuda yang hanya 6.1 %, hanya 65 % pemudanya optimis dengan masa depan mereka.

Anomali terjadi di Brazil, meskipun pengangguran pemudanya mencapai 17.8 % tetapi pemuda yang optimis dengan masa depannya mencapai 68 %.

Datanya Bank Dunia untuk pengangguran pemuda di Indonesia lebih tinggi dari keempat negara tersebut, yaitu 19.3 % untuk laki-laki dan 21 % untuk perempuan. Maka meskipun tidak termasuk negara yang disurvey oleh Credit Suisse dalam Youth Barometer-nya tersebut, kemungkinan besar pemudanya tidak jauh beda galaunya dengan negara-negara yang dijadikan sample-tersebut.

Pertanyaannya adalah lantas bagaimana kita bisa mengindarkan generasi muda dari kegalauan-kegalauan tersebut ? Yang utama tentu adalah agama. Anomali di negeri Brasil tersebut di atas antara lain karena pemuda-pemuda di Brasil lebih religious – terlepas dari kekeliruan agamanya – di bandingkan dengan pemuda-pemuda di Amerika Serikat, Singapore maupun Swiss.

Negeri ini yang mayoritas penduduknya Muslim, mestinya bisa memacu optimisme pemudanya dengan lebih baik. Banyak sekali ajaran agama ini yang mengajak kita untuk terus optimis sampai akhir hayat kita. Bahkan ketika rangkaian peristiwa hari akhir (kiamat) – pun sudah mulai, kita tetap dianjurkan menanam bibit pohon yang ada di tangan kita – sebagai salah satu bentuk optimisme itu.

Tentu dalam mebangun optimisme generasi muda kita tidak bisa hanya sekedar memberi semangat yang jauh dari realita. Realita yang terlalu jauh dari ekspektasi malah akan membuat generasi muda frustasi.

Oleh sebab itu seiring dengan dibangunnya sikap optimism melalui pengajaran Agama Tauhid yang benar, rangkaian bekal amal nyata harus pula disiapkan. Misalnya pemuda harus sedini mungkin dibekali dengan life skills agar secepat mungkin terbangun kemandirian pada jiwa mereka.

System pendidikan sekarang yang mengejar gelar semata, sampai-sampai para sarjana-pun banyak yang tidak tahu apa yang mereka bisa buat dengan kesarjanaannya – hal ini harus segera di review atau dicarikan pengganti system pendidikan dan pelatihannya.

Bahkan sering saya jumpai di banyak pelamar kerja, mereka menempuh pendidikan S-2 yang tidak relevan dengan S-1-nya. Sebagian ini terjadi karena mereka tidak memperoleh pekerjaan dengan S-1-nya kemudian daripada menganggur mereka menempuh S-2, dengan harapan berbekal S -2 peluang mereka akan lebih baik.

Padahal belum tentu, di dunia kerja lebih diutamakan (calon) pekerja yang trampil dan fit dengan tugas-tugas yang akan diberikan kepadanya – dan bukan semata melihat gelar-gelar yang dibawanya.

Jadi seperti apa program pendidikan yang seharusnya bisa melahirkan generasi-generasi yang optimis itu ? Pertama dalah yang menguatkan iman dan yang kedua adalah yang mengasah ketrampilan. Dua hal inilah yang kita ikuti dari pendidikan-pendidikan Islam sebelumnya, yaitu dengan Kuttab dan Madrasah-nya.

Madrasah disini bukan seperti madrasah yang kita kenal saat ini, tetapi gabungan dari sekolah menengah dan tinggi yang menyiapkan anak didik sampai bener-bener matang di bidang yang dipilihnya.

Dengan konsep yang terbukti efektif menghasilkan generasi muda gemilang di masa lampu tersebut, mestinya kita harus bisa mengungguli negara-negara lain dalam optimism para pemuda-nya. Bukan optimism yang hanya pepesan kosong, tetapi optimism yang didasari oleh keimanan yang sangat kuat dan kemandirian yang sangat nyata. Tetapi untuk ini memang diperlukan keputusan yang berani oleh para orang tua.

Para orang tua harus berani mengubah sasaran pendidikan anak-anaknya dari mengejar gelar, menjadi dokter, insinyur, ekonom dlsb. berubah menjadi anak-anak yang beriman kuat dan mandiri di usia belia. Bahwasanya mereka akan menjadi dokter, insinyur, ekonom dlsb. sesudah itu – maka itu akan menjadi sangat baik.  Tetapi bukan sebaliknya, yaitu mereka memperoleh gelar yang dikejarnya tetapi imannya kosong dan tidak mandiri pula.

Survey oleh Credit Suisse tersebut di atas sebenarnya mensiratkan hal ini. Negara-negara yang katanya sangat maju dengan pendidikannya yang bahkan menjadi standar dunia – sekalipun, ternyata hanya melahirkan generasi yang sebagian besarnya galau ! Bukankah ini sinyal agar kita tidak mengikuti mereka ? Agar kita memiliki konsep sendiri yang insyaAllah jauh lebih unggul ? InsyaAllah !.

oleh : Muhaimin Iqbal

Jumat, 21 Februari 2014

Solusi 1 %...

Terkadang permasalahan yang ada itu begitu besar sehingga kita awang-awangen untuk mengatasinya. Tetapi ada cara untuk mengatasinya agar tidak terlalu terasa berat, yaitu dengan cara mem-break-down-nya menjadi sejumlah masalah kecil yang kemudian terasa ringan untuk diatasi satu persatu. Masing-masing pecahan masalah tersebut bisa ditangani ahlinya sehingga tidak ada yang terlalu berat untuk diatasi.

Katakanlah masalah itu kita pecah menjadi 100 bagian , maka bila setiap 1 bagian atau 1 %-nya bisa diatasi oleh 1 orang (team) – seluruh permasalahan yang ada bisa diselesaikan oleh 100 orang (team). Well tepatnya tidak harus menjadi 100 bagian, tetapi intinya adalah dibagi menjadi sejumlah masalah-masalah yang lebih kecil.

Ambil sekarang contoh kasus yang hingga kini seolah tidak ada solusinya bagi masyarakat Jakarta – yaitu banjir. Apakah penduduk di Jakarta harus pasrah menerima realita banjir yang semakin  membesar setiap tahunnya ? Mestinya tidak. Lantas apakah pemerintah yang terwakili oleh Gubernur DKI dan teamnya harus bisa mengatasinya ? Juga tidak.

Masyarakat tidak bisa mengatasinya sendiri, demikian pula Gubernur DKI dan jajarannya tidak bisa mengatasinya sendiri. Permasalahan banjir di Jakarta hanya bisa diatasi bila permasalahan tersebut dipecah menjadi masalah-masalah yang lebih kecil kemudian ditugaskan ke masing-masing ‘ahli’nya untuk mengatasinya.

Ada yang menjadi tugas pemerintah, misalnya yang terkait pembangunan sarana dan prasarana, menegakkan peraturan, memberlakukan sangsi bagi yang melanggar dlsb. Ada yang menjadi tugas masyarakat seperti menangani sampah di lingkungan masing-masing, menanam pohon dlsb.

Allah mendatangkan hujan dari langit sebagai berkah, supply untuk kebutuhan air kita yang demand-nya bisa jadi muncul sekian tahun, sekian generasi dari sekarang. Bila berkah ini tidak bisa kita kelola, apalagi malah menjadi musibah – maka pastilah bersama-sama kita semua belum memenuhi atau melaksanakan tugas dariNya : “…Dia telah jadikan kamu dari bumi (tanah), dan menjadikan kamu pemakmurnya …” (QS 11 :61).

Solusi dengan memecah permasalahan menjadi sejumlah permasalahan kecil-kecil dan mengalokasikannya ke masing-masing ahlinya ini juga berlaku bagi seluruh permasalahan kita baik di urusan rumah tangga, usaha, organisasi dlsb. Hanya dibutuhkan 100 orang dengan kemampuan menyelesaikan 1 % masalah, untuk bisa menuntaskan seluruh permasalahan yang ada.

Namun pendekatan ini tentu saja tidak semudah yang kita katakan. Untuk bisa efektif berjalan, berikut prasyaratnya.

Pertama, harus disadari bahwa tidak ada seorangpun yang bisa mengatasi 100% permasalahan yang ada seorang diri. Artinya setiap pihak harus membuka diri akan kekurangannya sehingga bisa diisi oleh yang lain.

Kedua harus ada platform yang sama dalam menyelesaikan masalah itu. Seperti lebah yang membangun rumahnya dari sejumlah titik yang berbeda, tetapi menjadi satu banguan yang indah – yang seamless ( tanpa sambung) – karena mereka selalu menggunakan platform yang sama yaitu wahyuNya : “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia"” (QS 16:68).

Kebutuhan platform yang sama inilah yang mutlak perlu, dan tidak ada platform yang lebih baik dan lebih lengkap selain platform wahyuNya ! Artinya solusi 1 % ini hanya berlaku bila manusia hidup berjamaah kemudian semua dituntun oleh wahyuNya untuk memerankan peran masing-masing.

Ketika platform itu platform politik, platform daerah, platform kepentingan ekonomi dan sejenisnya – maka solusi untuk kemaslahatan umat yang lebih besar itu akan sangat sulit dicapai. Dalam mengatasi permasalah banjir di atas saja misalnya, pemerintahan DKI nampaknya tidak sepenuhnya mendapatkan dukungan dari daerah-daerah penyangganya.

Ketiga yang dibutuhkan adalah kesadaran bahwa sekecil apapun kontribusi kita – baik yang positif maupun yang negatif –semuanya diperhitungkan : “Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala) nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (QS 21:47).

Kita tidak boleh enggan beramal shaleh meskipun nampaknya kecil, sebaliknya kita tidak boleh melaksanakan hal-hal yang buruk meskipun itu juga nampaknya remeh-temeh.

Ada hal yang nampaknya remeh-temeh tetapi sangat buruk dilakukan rame-rame oleh masyarakat Jakarta dan sekitarnya, dan ini saya amati baru terjadi beberapa tahun terakhir – yaitu sengaja membuang sampah dalam bungkus-bungkus plastik di jalan-jalan besar, jembatan , dan tempat-tempat yang tidak ada pengawasannya.

Bila menyingkirkan batu dari jalan  adalah bagian dari iman, maka bagian dari apa ini kebudayaan buruk yang mewabah berupa aksi membuang sampah di jalan-jalan ini ? Siapa yang mengajari masyarakat modern melakukan hal-hal buruk seperti ini ?

Ada yang lebih buruk lagi dari membuang sampah di jalan di atas yang secara rame-rame dilakukan di negeri ini dan bahkan sekarang diwajibkan yaitu riba. Riba yang diwajibkan itu sudah berlaku sejak awal tahun ini berupa BPJS dan JKN, yang menurut standar fatwa MUI no 1/2004 – mestinya jelas-jelas masuk kategori riba.

Bila riba yang tidak ditinggalkan saja sudah dinyatakan pernyataan perang terhadap Allah dan RasulNya (QS 2:279), bila dosa teringan riba adalah seperti seorang yang menzinahi ibu sendiri (HR Al-Hakim) – maka pernyataan apa dan dosa apa ini jadinya bila riba itu kini sudah menjadi kewajiban ?

Sejak 1/1/2014 ini riba menjadi kewajiban di negeri ini, sejak awal tahun ini pulalah musibah demi musibah silih berganti tiada hentinya . Apakah ini kebetulan ?, tidak ada yang kebetulan yang terjadi di bumi ini.

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS 30 : 41)

Apakah kita rame-rame kembali kejalanNya setelah musibah-demi musibah terjadi ini ? Itulah setidaknya peran 1 % dari kita masing-masing. Bila masing-masing kita kembali kejalanNya dengan terus memohon petunjuk dan perlindungaNya, terus berbuat yang kita bisa meskipun nampaknya kecil – maka insyaAllah kita akan bersama-sama selamat dari bencana-demi bencana ini.InsyaAllah.

sumber :http://geraidinar.com/index.php/using-joomla/extensions/components/content-component/article-categories/84-gd-articles/umum/1384-solusi-1
oleh : Muhaimin Iqbal