Katakanlah
masalah itu kita pecah menjadi 100 bagian , maka bila setiap 1 bagian
atau 1 %-nya bisa diatasi oleh 1 orang (team) – seluruh permasalahan
yang ada bisa diselesaikan oleh 100 orang (team). Well tepatnya tidak harus menjadi 100 bagian, tetapi intinya adalah dibagi menjadi sejumlah masalah-masalah yang lebih kecil.
Ambil
sekarang contoh kasus yang hingga kini seolah tidak ada solusinya bagi
masyarakat Jakarta – yaitu banjir. Apakah penduduk di Jakarta harus
pasrah menerima realita banjir yang semakin membesar
setiap tahunnya ? Mestinya tidak. Lantas apakah pemerintah yang
terwakili oleh Gubernur DKI dan teamnya harus bisa mengatasinya ? Juga
tidak.
Masyarakat
tidak bisa mengatasinya sendiri, demikian pula Gubernur DKI dan
jajarannya tidak bisa mengatasinya sendiri. Permasalahan banjir di
Jakarta hanya bisa diatasi bila permasalahan tersebut dipecah menjadi
masalah-masalah yang lebih kecil kemudian ditugaskan ke masing-masing
‘ahli’nya untuk mengatasinya.
Ada
yang menjadi tugas pemerintah, misalnya yang terkait pembangunan sarana
dan prasarana, menegakkan peraturan, memberlakukan sangsi bagi yang
melanggar dlsb. Ada yang menjadi tugas masyarakat seperti menangani
sampah di lingkungan masing-masing, menanam pohon dlsb.
Allah mendatangkan hujan dari langit sebagai berkah, supply untuk kebutuhan air kita yang demand-nya
bisa jadi muncul sekian tahun, sekian generasi dari sekarang. Bila
berkah ini tidak bisa kita kelola, apalagi malah menjadi musibah – maka
pastilah bersama-sama kita semua belum memenuhi atau melaksanakan tugas
dariNya : “…Dia telah jadikan kamu dari bumi (tanah), dan menjadikan kamu pemakmurnya …” (QS 11 :61).
Solusi
dengan memecah permasalahan menjadi sejumlah permasalahan kecil-kecil
dan mengalokasikannya ke masing-masing ahlinya ini juga berlaku bagi
seluruh permasalahan kita baik di urusan rumah tangga, usaha, organisasi
dlsb. Hanya dibutuhkan 100 orang dengan kemampuan menyelesaikan 1 %
masalah, untuk bisa menuntaskan seluruh permasalahan yang ada.
Namun pendekatan ini tentu saja tidak semudah yang kita katakan. Untuk bisa efektif berjalan, berikut prasyaratnya.
Pertama,
harus disadari bahwa tidak ada seorangpun yang bisa mengatasi 100%
permasalahan yang ada seorang diri. Artinya setiap pihak harus membuka
diri akan kekurangannya sehingga bisa diisi oleh yang lain.
Kedua harus ada platform
yang sama dalam menyelesaikan masalah itu. Seperti lebah yang membangun
rumahnya dari sejumlah titik yang berbeda, tetapi menjadi satu banguan
yang indah – yang seamless ( tanpa sambung) – karena mereka selalu menggunakan platform yang sama yaitu wahyuNya : “Dan
Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit,
di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia"” (QS 16:68).
Kebutuhan platform yang sama inilah yang mutlak perlu, dan tidak ada platform yang lebih baik dan lebih lengkap selain platform wahyuNya
! Artinya solusi 1 % ini hanya berlaku bila manusia hidup berjamaah
kemudian semua dituntun oleh wahyuNya untuk memerankan peran
masing-masing.
Ketika platform itu platform politik, platform daerah, platform
kepentingan ekonomi dan sejenisnya – maka solusi untuk kemaslahatan
umat yang lebih besar itu akan sangat sulit dicapai. Dalam mengatasi
permasalah banjir di atas saja misalnya, pemerintahan DKI nampaknya
tidak sepenuhnya mendapatkan dukungan dari daerah-daerah penyangganya.
Ketiga
yang dibutuhkan adalah kesadaran bahwa sekecil apapun kontribusi kita –
baik yang positif maupun yang negatif –semuanya diperhitungkan : “Dan
jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan
(pahala) nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (QS 21:47).
Kita
tidak boleh enggan beramal shaleh meskipun nampaknya kecil, sebaliknya
kita tidak boleh melaksanakan hal-hal yang buruk meskipun itu juga
nampaknya remeh-temeh.
Ada
hal yang nampaknya remeh-temeh tetapi sangat buruk dilakukan rame-rame
oleh masyarakat Jakarta dan sekitarnya, dan ini saya amati baru terjadi
beberapa tahun terakhir – yaitu sengaja membuang sampah dalam
bungkus-bungkus plastik di jalan-jalan besar, jembatan , dan
tempat-tempat yang tidak ada pengawasannya.
Bila menyingkirkan batu dari jalan adalah
bagian dari iman, maka bagian dari apa ini kebudayaan buruk yang
mewabah berupa aksi membuang sampah di jalan-jalan ini ? Siapa yang
mengajari masyarakat modern melakukan hal-hal buruk seperti ini ?
Ada
yang lebih buruk lagi dari membuang sampah di jalan di atas yang secara
rame-rame dilakukan di negeri ini dan bahkan sekarang diwajibkan yaitu
riba. Riba yang diwajibkan itu sudah berlaku sejak awal tahun ini berupa BPJS dan JKN, yang menurut standar fatwa MUI no 1/2004 – mestinya jelas-jelas masuk kategori riba.
Bila
riba yang tidak ditinggalkan saja sudah dinyatakan pernyataan perang
terhadap Allah dan RasulNya (QS 2:279), bila dosa teringan riba adalah
seperti seorang yang menzinahi ibu sendiri (HR Al-Hakim) – maka
pernyataan apa dan dosa apa ini jadinya bila riba itu kini sudah menjadi
kewajiban ?
Sejak
1/1/2014 ini riba menjadi kewajiban di negeri ini, sejak awal tahun ini
pulalah musibah demi musibah silih berganti tiada hentinya . Apakah ini
kebetulan ?, tidak ada yang kebetulan yang terjadi di bumi ini.
“Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS 30 : 41)
Apakah
kita rame-rame kembali kejalanNya setelah musibah-demi musibah terjadi
ini ? Itulah setidaknya peran 1 % dari kita masing-masing. Bila
masing-masing kita kembali kejalanNya dengan terus memohon petunjuk dan
perlindungaNya, terus berbuat yang kita bisa meskipun nampaknya kecil –
maka insyaAllah kita akan bersama-sama selamat dari bencana-demi bencana
ini.InsyaAllah.
sumber
:http://geraidinar.com/index.php/using-joomla/extensions/components/content-component/article-categories/84-gd-articles/umum/1384-solusi-1
oleh : Muhaimin Iqbal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar