Dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi yang masih di angka 7.8 %, jauh di atas
kita yang 6.0% - ditambah penduduknya yang 5.8 kali lebih banyak dari
kita – China memang jauh lebih perkasa dari kita dalam menyedot kedelai
dunia untuk rakyat dan ternak mereka. Walhasil ketika komoditi kedelai
ini diperebutkan di pasar, demand selalu siap menyedot berapa saja supply kedelai dunia – maka harga pasti melonjak.
Menurut data resminya pemerintah melalui Pusat
Data dan Sistem Informasi Pertanian - Kementerian Pertanian, sepanjang
tahun lalu (Januari- Nov) kedelai hanya naik 13%. Namun menurut Kompas
(15/10/12), sampai oktober saja harga kedelai sudah naik 25.25%. Mana
yang benar ? istri Anda dan para produsen tempe mungkin lebih tahu
realitanya.
Kabar
buruk berikutnya adalah bahwa kemahalan dan ketidak terjangkauan
kedelai sebagai bahan baku tempe ini nampaknya masih akan terus
berlanjut. Penyebabnya adalah kebijakan Beijing yang sama dengan kita –
tidak mampu memenuhi kebutuhan kedelainya. Bila kita impor sekitar 70%
kebutuhan kedelai kita, China mengimpor sekitar 80 % dari kebutuhan
kedelainya.
Sampai sekitar 20 tahun lalu kebutuhan kedelai 14 juta ton mereka dapat dicukupi dengan produksi dalam negeri. Namun seiring dengan pertumbuhan ekonominya, kini China yang membutuhkan sekitar 70 juta ton kedelai per tahun – sementara produksinya relatif tetap –mereka harus mengimpor 56 juta ton-nya dari pasar internasional. Inilah yang kemudian menjadi pesaing kita yang sangat kuat dalam memperebutkan ketersediaan kedelai ini.
Lebih jauh kebutuhan kedelai yang meningkat tajam dari China ini juga mengancam supply
pangan dunia secara keseluruhan. Mengapa demikian ? perhatikan pada
grafik di bawah. Dalam setengah abad terakhir tanah untuk produksi
gandum relatif tidak bertambah, tanah untuk produksi jagung sedikit
bertambah sedangkan tanah untuk produksi kedelai melonjak tajam.
Saat
ini peningkatan kebutuhan kedelai China itu sudah bukan hanya
membahayakan ketersediaan bahan pangan dunia saja, tetapi juga sudah
sampai titik membahayakan iklim global. Exportir utama kedelai dunia
seperti Amerika sudah pada tingkat tidak bisa menambah lagi lahan
kedelai tanpa harus mengorbankan lahan untuk komoditi lainnya seperti
jagung dan gandum. Brasil tidak bisa lagi menambah lahan kedelai tanpa
harus mengorbankan hutan Amazon mereka.
Lantas
apa artinya semua ini bagi kita ?, yang jelas kedelai tidak akan
kembali murah – itupun kalau masih ada yang bisa kita impor. Kedelai
produksi dalam negeri hanya mencukupi sekitar 30% dari yang kita
butuhkan selama ini.
Jadi
ibu-ibu di rumah harus mulai berfikir menu pengganti tempe, tahu dan
sejenisnya yang berbahan baku kedelai. Masalahnya adalah makanan sekelas
tempe terlanjur mendarah daging di sebagian besar penduduk negeri ini,
pertama karena rasanya enak dan kedua (dahulunya) sumber protein yang
relatif terjangkau.
Mau
diganti apa kedelai ini ?, mau diganti daging harganya sudah keburu
naik lebih tinggi ketimbang kedelai. Ketika data resmi pemerintah
mengungkapkan kenaikan harga kedelai 13% tersebut di atas, harga daging
naiknya 14 %. Lagi-lagi istri Anda di rumah lebih tahu realitanya.
Masalah
kedelai ini bukan masalah sepele bagi kita rakyat negeri ini dan
keturunan kita. Ketika sumber protein yang dahulunya relatif terjangkau
ini – kini menjadi tidak lagi terjangkau, maka akan terjadi degradasi
gizi pada generasi kini dan nanti. Ketika gizi rata-rata itu menurun,
kwalitas fisik dan intelektual kita juga menurun – inilah bahaya yang
harus dihindarkan selanjutnya.
Maka
apa yang seharusnya mulai kita lakukan dengan serius ?, bangsa ini
ibarat sebuah keluarga besar yang gemar berpesta. Dari waktu – ke waktu
kita berpesta sehingga seolah tiada hari tanpa pesta ini – silahkan baca
di media. Beritanya adalah pilkada ini, pilkada itu – persiapan pemilu
ini dan itu, heboh partai ini dan itu – begitu seterusnya yang semuanya
berujung pada urusan pesta (demokrasi !).
Karena
semuanya sedang menikmati kemeriahan pesta – sampai-sampai lupa bahwa
dalam urusan pesta-pun harus ada yang menyiapkan makanannya, agar semua
tamu mendapatkan jatah makanannya secara cukup. Harus ada koki yang
memasaknya agar menu makanannya lezat, dan setelah itu harus ada yang
mencuci piring-piringnya.
Ibarat pengamat dalam pesta tersebut, saya amati lho kok yang harusnya masak (departemen yang mengurusi pangan) ikut berpesta,
yang seharusnya mencuci piring (penegakan hukum) ikut berpesta, yang
seharusnya melayani tamu (eksekutif) ikut berpesta dan semuanya tumpleg bleg dalam kemeriahan pesta. Lantas siapa yang masak ? siapa yang mencuci piring ? siapa yang melayani tamu-tamu ?
Di tengah kemeriahan pesta yang seolah tidak akan berakhir ini, sebagian kita baru sadar bahwa eh
ternyata tidak ada lagi koki yang masak, tidak ada lagi yang bekerja
mencuci piring dan tidak ada lagi yang melayani tamu-tamunya.
Bisa dibayangkan kemudian apa yang bisa terjadi ? AEC (ASEAN Economics Community)
yang siap mengambil pekerjaan dan usaha kita kini sudah di depan mata.
Dan bahkan Beijing sudah lebih dahulu mengambil tahu dan tempe dari
piring-piring kita. Bahwa pesta mestinya sudah harus berakhir, waktunya
bekerja keras menghadapi realita hidup yang tidak semuanya Indah. :(
Oleh : Muhaimin Iqbal
sumber : http://www.geraidinar.com/index.php/using-joomla/extensions/components/content-component/article-categories/84-gd-articles/umum/1244-beijing-yang-mengambil-tempe-dari-piring-kita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar