Dalam
sidang kabinet pertama, Presiden baru kita ingat dengan janji-janjinya
selama masa kampanye. Bahwa dia antara lain menjajikan swasembada pangan
bagi negeri ini, bahwa dia menjanjikan negeri yang kuat dalam bidang
ekonomi sehingga tidak ditekan-tekan dan didekte oleh negeri-negeri
asing.
Kabinet
kali ini diisi oleh para pakar dan professional di bidangnya
masing-masing, namun demikian Pak Presiden belum sepenuhnya puas dengan
pemikiran para menteri untuk menghadapi krisis multi dimensi yang
dihadapi saat itu.
Di
bidang ekonomi krisis itu terindikasi dari rendahnya daya beli
masyarakat, rendahnya kwalitas dan kwantitas pangan mereka, terus
menurunnya nilai tukar Rupiah, terus merosotnya cadangan devisa, ekonomi
biaya tinggi di hampir seluruh sektor dlsb. dlsb.
Maka setelah seluruh menteri menyampaikan garis besar pemikiran mereka masing-masing, Pak Presiden berbicara dengan Pak Kyai.
“Begini
Pak Kyai, saya mendengar sudah beberapa kali dalam pemerintahan
sebelumnya Pak Kyai diundang untuk hadir dalam sidang kabinet semacam
ini. Maka tradisi baik dari pendahulu saya tersebut ingin saya teruskan
dan bahkan tingkatkan, saya ingin ada wawasan lain diluar yang sudah
biasa saya dengar dari para menteri dan pembantu saya lainnya. Monggo
Pak Kyai, kami semua ingin menyimak…”
Dengan
penampilan yang santai, memakai sarung dan kopyah hitam miring – Pak
Kyai seolah memecah kekakuan suasana sidang kabinet. Setelah mengucapkan
syukur kepada Allah dan menyampaikan shalawat dan salam kepada
Junjungan kita Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam Pak Kyai-pun
mulai bicara :
“Mohon maaf bapak Presiden, sebelum saya menyampaikan uneg-uneg saya, saya ingin memberi hadiah kepada Pak Presiden”.
Kemudian Pak Kyai menyampaikan hadiahnya berupa koin emas seperti dalam
gambar disamping. Ditengah keheranan pak Presiden dan para menteri yang
hadir, Pak Kyai kemudian menjelaskannya.
“Koin
emas tersebut adalah perlambang amanah kepada bapak Presiden dan para
menteri. Koin itu di bahasa bapak-bapak sekalian adalah yang disebut
unit of account, dalam bahasa pesantren saya adalah timbangan yang adil.
Dalam bahasa bapak-bapak dia adalah perlambang store of value, dalam
bahasa kami dia adalah alat untuk mempertahankan nilai atau bagian dari
ketahanan ekonomi (yukhsinun)”.
“Maksudnya
adalah, agar dalam lima tahun jabatan bapak-bapak sekalian kedepan,
bapak-bapak bisa berperilaku adil terhadap rakyat. Dan Bapak-bapak juga
harus bisa membangun ketahanan ekonomi negeri ini, mampu meningkatkan
dan kemudian juga mempertahankan daya beli masyarakatnya”.
Pak Presiden kemudian menyela : “Menarik sekali Pak Kyai, tapi apa hubungannya koin ini dengan masalah yang kini kita hadapi ? apa solusi kongkritnya menurut pak Kyai ?”. pak Kyai-pun tidak sabar untuk segera menjelaskannya :
“Begini bapak Presiden
dan bapak-Ibu menteri sekalian. Ekonomi kita lemah, cadangan devisa
terkuras dan nilai tukar uang kita terpuruk karena kita belum berhasil
membangun keunggulan-keunggulan berdasarkan resources yang kita miliki”.
“Selain
bahan bakar, kita harus mengimpor bahan-bahan pangan dari tepung sampai
daging dan susu – padahal kita hidup di bumi Allah yang paling kaya
keaneka ragaman hayati kita dan mendapatkn hujan sangat cukup disamping
sinar matahari sepanjang tahun. Hanya beberapa negeri katulistiwa saja
yang memiliki keunggulan semacam ini di dunia”.
“ Adapun
koin yang saya berikan ke bapak Presiden tadi, itu hanyalah simbul –
bahwa hanya dengan domba atau kambing-pun negeri ini bisa bangkit,
membangun cadangan devisa, mencukupi kebutuhan pangan sekligus
menyuburkan kembali lahan-lahan kita yang mulai gersang”.
“Bapak menteri pertanian bisa cek, bahwa tahun lalu produksi daging sapi kita
hanya 430,000 ton atau kalau dibagi rata-rata penduduk hanya kebagian
1.8 kg per tahun per kapita. Setelah ditambah impor, daging domba,
kambing, ayam dlsb, konon menurut datanya FAO kita bisa makan daging
sampai 10 kg per tahun per kapita. Inipun kurang dari ¼ konsumsi
rata-rata penduduk dunia yang berada di kisaran 41 kg per tahun per
kapita”.
“Sekarang
saya akan tunjukkan bahwa kita bisa meningkatkan konsumsi daging kita
untuk mencapai rata-rata penduduk dunia – atau empat kali dari sekarang,
pada saat yang bersamaan kita meningkatkan devisa dari berbagai sektor
!”.
Karena melihat wajah-wajah para menteri yang mengekspresikan kekurang percayaannya. Pak Kyai-pun melanjutkan :
“Selama
ini kita perfikir sektoral. Menteri kehutanan fokus ngurusi hutan dan
tentu saja harus berusaha mempertahankan kekayaan yang satu ini. Menteri
pertanian mengurusi pertanian dalam arti luas dan dari waktu ke waktu
tentu harus bisa meningkatkan produksi pangan di negeri ini. Tetapi
bagaimana dia dapat meningkatkan produksi ? tentu tidak dengan membabat
hutan, karena ini akan bertentangan dengan kepentingan menteri
kehutanan. Kemudian industri peternakan kita terjebak dengan feed trap,
biaya pakan yang tinggi sehingga kita tidak bisa memproduksi daging dan
susu secara murah. Dari sinilah kemudian kita menyerah dengan mengimpor
tepung, daging dan susu dari negeri-negeri lain”.
“Padahal
dengan mengintegrasikan ketiganya, kehutanan-pertanian – dan peternakan
yang kemudian kami sebut WATANA (Wana Tani Ternak), semuanya menjadi
saling melengkapi dengan sangat indah. Hutan kita ya ladang kita ya
tempat gembalaan untuk ternak-ternak kita”.
“Dengan
menintegrasikan ketiganya, hutan kita akan lestari karena terus menerus
dipupuk dengan kotoran ternak yang gratis dan melimpah, bertani kita
menjadi variatif karena tidak hanya menanam tanaman semusim tetapi juga
tanaman-tanaman jangka panjang yang bisa dipetik hasilnya secara terus
menerus tanpa perlu menanam ulang setiap saat. Ternak kita memperoleh
pakan yang melimpah tidak perlu membeli”.
Merasa bidangnya disinggung Pak Kyai, menteri pertanian-pun menyela : “Mohon maaf Pak Presiden, boleh kami menyela ?” Setelah diijinkan oleh pak Presiden menteri pertanian-pun menyela penjelasan Pak Kyai : “Begini
Pak Kyai, apa yang Pak Kyai sampaikan tersebut seolah ideal – padahal
belum ada bukti keberhasilannya di lapangan. Sedangkan kita butuh
solusi-solusi yang konkrit yang sudah ada bukti keberhasilannya”.
Merasa tertantang, pak Kyai-pun menjelaskan ; “Justru
inilah buktinya bapak Presiden dan para menteri, kita sudah 69 tahun
merdeka – tetapi kita tidak mandiri pangan. Bukankah ini bukti bahwa
pendekatan yang ditempuh selama ini gagal ? bukankah kita perlu menempuh
jalan lain agar kita tidak gagal lagi dan gagal lagi ?, bukankah
bapak-bapak sekalian juga tidak ingin me jadi pemerintahan yang gagal
dalam lima tahun kedepan ?”.
“Tetapi
apa jalan lain itu ?, rakyat telah lelah menjadi ajang percobaan system
ekonomi demi system ekonomi. Ekonomi Orde Lama berujung hiper inflasi
dan sanering, ekonomi Orde Baru berujung pada ekononomi kroniisme yang
hanya menguntungkan segelintir orang. Ekonomi era reformasi hanya
berujung negeri ini jadi bancakan raja-raja kecil dari daerah sampai
pusat !”
“Tidak ada jalan lain, kita harus kembali ke system ekonomi yang benar. Ekonomi yang berbasis petunjukNya”. Mendengar ini, menteri ekonomi yang Doctor lulusan barat memotong : “Tetapi
apa ada pak Kyai konsep ekonomi yang berbasis petunjuk itu ? seperti
apa konkritnya, dan dimana diterapkan secara berhasil ?”
Merasa seperti dikeroyok para menteri, Pak Kyai-pun tidak kalah sigap : “Allah
berjanji bahwa kitabNya adalah petunjuk, penjelasan dan jawaban untuk
segala bidang. Maka pasti urusan ekonomi yang begitu besar mengurusi
hajat hidup orang banyak-pun ada tuntunan detilNya”.
“Seperti kombinasi antara hutan/kebun dengan pertanian dan penggembalaan ternak tersebut, petunjuknya bergitu jelas dan lengkap.” Lalu pak Kyai membacakan dan menjelaskan tafsir Surat An-Nahl 10-11 dan ‘Abasa 24-32.
Pak Presiden yang manggut-manggut akhirnya menengahi : “Saya
paham, perdebatan ini hanya masalah pendekatan yang berbeda. Para
menteri mendekati masalah dengan keahliannya, Pak Kyai mendekati masalah
dengan petunjukNya. Justru inilah yang saya kehendaki, setiap masalah
didekati dengan petunjukNya, kemudian ditindak lanjuti di lapangan
dengan profesionalisme dan keahlian di masing-masing bidang”.
Ganti Pak Kyai yang manggut-manggut: “
betul Pak Presiden, PetunjukNya harus menjadi panglima dalam setiap
masalah yang kita hadapi dan akan selesaikan, kemudian seluruh jaringan
keahlian dan profesionalisme di masing-masing bidang akan menjadi para
prajuritnya di bidang masing-masing”.
Pak Presiden kemudian mengarahkan : “Kongkritnya
seperti apa Pak Kyai, bagimana dengan WATANA tadi kita akan bisa
membangun kekuatan ekonomi, bisa meningkatkan cadangan devisa dan bisa
swasembada pangan ?”
“Begini
pak Presiden dan bapak-ibu menteri, bila kita menjadikan hutan, kebun
dan lahan kita sekligus menjadi lahan gembalaan – maka kita akan bisa
memproduksi daging yang murah. Bersamaan dengan itu lahan-lahan akan
subur dengan sendirinya, otomatis hasil berupa bahan makanan lain akan
juga menjadi murah dan melimpah. Dari sini saja kita sudah tidak akan
mengimpor bahan-bahan makanan termasuk daging dan susu”.
Pak Presiden masih menyampaikan pertanyaan lanjutan : “Apakah bisa pak Kyai ini dilakukan ?, apakah ternak yang digembala tersebut tidak merusak tanaman-tanaman ?”
Pak Kyai menjelaskan “InsyaAllah
sangat bisa Pak Presiden, pertama ini adalah sesuai tafsir ayat-ayat
yang tadi saya jelaskan. Kedua di lapangan kita juga harus selektif
ternak apa digembala di lingkungan seperti apa. Pada kesempatan ini juga
saya sarankan ternak yang digembalakan tersebut utamanya adalah domba.”
Saran ini membuat menteri pertanian tidak tahan untuk tidak bicara : “Mohon
maaf Pak Kyai, tadi Pak Kyai menjelaskan dengan konsep WATANA kita akan
bisa swasembada pangan termasuk daging. Kok yang dipilih domba ?
bagaimana mungkin kita bisa mencukupi kebutuhan daging nasional hanya
dengan domba ?”
“Demikian
pak menteri, sudah saya jelaskan sebelumnya – bahwa ketika kita tidak
merubah mindset kita – maka kejumudan telah membuat negeri ini tidak
mandiri setelah 69 tahun merdeka. Kita harus bisa dan mau merubah
mindset kita, bahwa daging bukan hanya daging sapi, daging bisa domba ,
kambing dlsb”.
Menteri pertanian masih menyela : “ Coba
bayangkan Pak Kyai, berapa banyak domba harus dipelihara untuk bisa
mencukupi kebutuhan daging kita, dan bahkan kata Pak Kyai tadi kita akan
bisa meningkatkan konsumsi daging sampai menyamai rata-rata penduduk
dunia – atau 4 kali dari konsumsi sekarang ? berapa luas lahan gembalaan
yang harus disediakan untuk itu ?”
Dengan enteng Pak Kyai menjawab challenge dari menteri yang bergelar Professor Doctor itu : “Alhamdulillah
pak menteri, saya dan team saya sudah pernah membuat oret-oretannya.
Dibutuhkan sekitar 5.2 juta hektar lahan WATANA untuk bisa menampung 975
juta domba yang akan cukup untuk menyediakan daging 41 kg per tahun per
kapita bagi seluruh penduduk negeri ini !”.
“5.2
juta hektar lahan seolah lahan yang sangat luas yang nggak mungkin
tercapai, padahal ini kurang lebih hanya setara dengan separuh lahan
sawit yang ada di negeri ini. Ini juga hanya mewakili sekitar 3 % dari
luasan lahan hutan , kebun dan sawah negeri ini yang mencapai sekitar
156 juta hektar”.
Ganti menteri kesehatan yang kurang sreg dengan solusi domba ini : “ Mohon
maaf Pak Presiden saya harus menyela, daging domba menurut saya bukan
solusi. Pertama karena alasan kesehatan, kedua karena alasan masyarakat
yang tidak terbiasa dengan daging domba”. Pak Presiden melihat ke Pak Kyai, memberi isyarat untuk menjawab.
Pak Kyai-pun sigap menjawab : “Mohon
maaf ibu menteri, ibu tadi mengisyaratkan ada masalah kesehatan di
daging domba. Ibu memiliki data atau alasan ilmiahnya, atau hanya mythos
?” Karena ibu menteri tidak siap merespon pertanyaan balik pak Kyai, maka Pak Kyai-pun segera menjelaskannya :
“Saya
justru memiliki data ilmiah, bahwa anggapan daging kambing atau domba
berpengaruh buruk pada kesehatan, darah tinggi, jantung, kolesterol
dlsb. hanyalah mythos belaka. Data dari USDA (United States Department
of Agricuture) daging kambing memiliki kolesterol yang lebih rendah dari
daging sapi dan bahkan daging ayam !. Daging domba khususnya yang
digembalakan di rerumputan bahkan masuk salah satu World Healthiest Food
!”.
“Yang
perlu diajari masyarakat hanyalah proses penanganan pasca
penyembelihan. Bila selama ini masyarakat umumnya memasak langsung
setelah kambing atau domba disembelih, ini yang membuat kolesterol
tinggi karena daging dimasak di fase rigor mortis (pengejangan pasca
penyembelihan) . Sebaiknya daging kambing atau domba disimpan dulu di
suhu 4 derajat celcius atau kurang (suhu ruangan utama kulkas, bukan
ruang pembekunya) sampai 24 jam kurang lebih. Setelah itulah daging
kambing atau domba akan lebih baik dari sapi dan ayam tersebut di atas”.
Pak
Presiden dan Para menteri semua manggut-manggut mendapatkan wawasan
baru yang sangat detil dari Pak Kyai. Pak Presiden kemudian mengarahkan :
“Baik,
kita paham sekarang bahwa konsep Pak Kyai tentang WATANA dan domba tadi
layak untuk didalami dan ditindak lanjuti para menteri. Tetapi sebelum
saya tutup, bagimana menurut Pak Kyai kita akan menyediakan lahan 5 juta
hektar lebih tadi, dan bagimana ini bisa menghadirkan devisa,
menguatkan ekonomi kita , dari mana anggarnnya dlsb ?”
Pak Kyai rupanya juga siap untuk menerima pertanyaan semacam ini : “ Begini
Pak Presiden, lagi-lagi pertama mindset-nya harus diubah dahulu. Bahwa
lahan yang 5 juta hektar lebih tersebut tidak diambil dari siapapun.
Konsepnya lahan tersebut tetap milik atau dalam kelolaan masing-masing
pihak yang selama ini memiliki atau mengelola. Bahkan sebaliknya, dengan
menjadikannya lahan WATANA – lahan tersebut sebenarnya ditingkatkan
produktifitasnya, menjadi lahan-lahan yang subur berkelanjutan tanpa ada
pupuk yang dibeli dan memberikan hasil sampingan yang selama ini tidak
diperoleh, hasil sampingan yang bisa jadi lebih besar dari hasil
pokoknya.”
“Perhutani
dan perkebunan-perkebunan akan melonjak pendapatannya karena dengan
WATANA tiba-tiba hutan atau kebun yang mereka kelola menjadi lahan
gembalaan yang sangat luas dan subur. Lapangan kerja meningkat dan
ekspor hasil hutan /kebun juga meningkat. Di dalam negeri ini
meningkatkan pendapatan per kapita sekaligus mengerem impor bahan
pangan. Dari sini saja Rupiah kita akan bisa menguat dan cadangan devisa
kita bisa terus bertambah”.
“Lebih
dari itu terkait dengan permodalan, kita juga tidak usah repot-repot
memikirkannya – karena masyarkat dunia akan berbondong-bondong membiayai
project semacam ini”. Kali ini kepala BKPM yang terkejut dan tidak tahan untuk menyela.
“Maksud
Pak Kyai apa ? apakah projek WATANA dan domba ini didanai dengan
investasi asing ? Tidak sejalan dong dengan pemikiran pertama tadi bahwa
kita akan mandiri ekonomi dan bebas dari tekanan asing ?”.
Pak Kyai tidak kalah siap dengan pertanyaan yang satu ini pula : “begini
pak, kalau investor asing itu adalah segelintir pemain besar, maka
benar mereka akan menekan kita. Tetapi kalau investor itu adalah jutaan
individu dari seluruh dunia, maka tidak ada investor yang cukup besar
yang bisa menekan kita”.
Pak Presiden terkejut dengan ide yang diluar dugaannya ini. Beliau memotong : “ kongkritnya seperti apa Pak Kyai ?, bagaimana jutaan orang dari luar sana mau terlibat dalam project WATANA dan domba ini ?” Pak Kyai menoleh ke Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
“Ini tugas ibu !” Pak Kyai memulainya : “Tanpa
kita sadari uang rakyat negeri ini tersedot keluar secara luar biasa
untuk membeli barang atau membayar jasa lewat internet. Tidak sedikit
pula uang negeri ini yang tersimpan dalam berbagai mata uang digital
jaman ini yang jumlahnya telah mencapai sekitar 180-an di seluruh dunia,
salah satu yang terbesar yang kita kenal di antaranya adalah Bitcoin”.
“Nah bila selama ini kita lebih banyak menjadi pasar bagi barang dan jasa dagangan dunia, dengan industri kreatif yang
berkembang, kita bisa melakukan sebaliknya. Kita bisa menyedot uang
dunia untuk mengalir ke negeri ini, ya antara lain dengan project-project WATANA, domba dlsb. ini”.
“Di
tengah kegalauan masyarakat dunia yang tidak comfortable dengan
investasi dan uang mereka, mereka mencari berbagai bentuk investasi dan
uang lain seperti Bitcoin tersebut. Segala uang dan investasi digital
tidak ada apa-apanya, bila dibandingkan dengan investasi di sektor riil
seperti WATANA dan domba ini. Selain memiliki nilai-nilai yang
dirindukan dunia – yaitu penyelamatan lingkungan dari kerusakan alam,
investasi mereka juga di-backup sepenuhnya dengan sektor riil berupa
hutan-hutan, kebun, ladang dan ternak”.
Karena
sudah terlalu panjang sidang kabinet mendengarkan masukan Pak Kyai,
akhirnya Pak Presiden memberi isyarat agar Pak Kyai mengakhirinya. “bagus
sekali wacana Pak Kyai ini dan saya sependapat semua menteri yang
terkait menindak lanjutinya. Barangkali pak Kyai ada kata penutup agar
wacana ini bisa bener-bener kita implementasikan bersama untuk kebaikan
negeri ini ?”.
Pak Kyai sebenarnya masih sangat banyak uneg-uneg yang bisa mengalir bagai aliran sungai deras, tetapi karena disuruh berhenti maka Pak Kyai-pun mengakhiri :
“Terima
kasih Pak Presiden, dan mohon maaf bila penjelasan saya berlarut-larut –
karena saya hanya ingin memberikan penjelasan sedetil mungkin agar
tidak lagi ada keraguan. Pertama ini bukan lagi wacana pak Presiden,
kami sudah benar-benar merintisnya. Kedua kami memohon kepada pak
Presiden dan para pembantu bapak, agar pemerintahan bapak kali ini
bener-bener ngurusi kepentingan rakyat. Kalau-pun toh terpaksanya tidak
bisa ngurusi, setidaknya bapak-bapak jangan ngrusuhi urusan rakyat
dengan berbagai peraturan dan kebijakan yang merepotkan rakyat !”
Pak
Presiden dan para menteri yang hadir semua manggut-manggut panjang, dan
sayapun terbangun dari ‘mimpi’ saya !. Setelah ‘terbangun’ sayapun
berniat, agar ini tidak hanya mimpi – tetapi visi yang benar-benar bisa
ditindak lanjuti. InsyaAllah.
sumber : http://geraidinar.com/index.php/using-joomla/extensions/components/content-component/article-categories/84-gd-articles/umum/1403-pak-kyai-di-sidang-kabinet-baru
oleh : Muhaimin Iqbal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar