Kehidupan adalah rahasia kekuasaan Tuhan, terkadang bahagia dan terkadang menderita, ada tangisan air mata dan sebentar kemudian gema gelak tawa menutupinya, ada keindahan ada juga kesuraman, hendaknya semua itu kita sadari dengan segala kerendahan hati.
Jika kejujuran kita membuat resah hati seseorang, jika keterusterangan kita mengganggu tidur malam seseorang, jika apa yang keluar dari suara hati ini menjadikan diri orang lain tersakiti. Maka mohonlah maaf pafanya, atas ketidakkuasaan hati untuk memendam perasaan.
Kejujuran memang berat, dan terkadang kita dibuat tidak berdaya dan serba salah dengan kejujuran itu sendiri. Antara ya dan tidak, antara suka dan benci, antara menerima dan menolak, antara mengakui dan menutupi, sulit memang untuk bisa mengatakan “tidak” tanpa harus menyakiti kesucian hati. Kalau penulis sendiri ditanya seperti itu, sementara hati ini belum berpikir ke situ, penulis pun akan.
Terkadang penulis sendiri juga bingung, apakah juga dikatakan kejujuran meski menyakiti perasaan, kalau perasaan orang sedih karena kejujuran penulis, sementara itu merupakan hal yang benar yang telah penulis lakukan, mengapa orang itu tidak membuat penulis sedih karena kejujurannya? Dan jika merupakan kesalahan, mengapa engkau malah berbohong untuk kesedihanku? Bukankah itu lebih menyakitkan. Kalau engkau tidak mencintaiku mengapa harus berkata sayang, kalau engkau menyayangiku mengapa dirimu melupakanku, dan saat aku belajar untuk melupakanmu justru dirimu malah datang mengingatkan.
Kekasih, apa sebenarnya yang ingin engkau lakukan terhadapku? Kalau engkau mau bermain, mengapa harus perasaan yang jadi korban? Kalau engkau mau berteman, mengapa begitu mesra dengan apa yang terucapkan? Kalau engkau ingin bercanda dan tertawa, mengapa hati selalu kau bawa serta? Kalau engkau ingin bersahabat, mengapa dirimu begitu berhasrat hanya sekedar untuk curhat?. Kalau dirimu merasa kasihan padaku, maka berilah apa yang aku butuhkan bukan malah kebohongan. Kalau dirimu tidak tega, maka bantulah aku semampu dirimu bisa, bukan malah menyiksa dengan kemesraan ungkapan kata-kata.
Yang terjadi biarlah terjadi, Karena, hanya itu yang sanggup kuucapkan sebagai wujud kepasrahan akan kehendak yang telah Dia berikan, sebagai wujud rasa syukur Karena, aku sanggup berkata jujur kepadamu. Ketahuilah, apapun yang telah engkau katakan kepadaku, aku menerimanya dengan segala kerendahan hati, Karena, aku sendiri sadar dengan segala kekurangan dan kekhilafan ini. Tak ada marah dalam hati, tak ada kesal membakar jiwa, tak ada dendam menghasut sukma, dan tak ada putus asa menindih cita. Aku hanya memohon semoga diri ini senantiasa bisa jujur kepadamu, berterus terang dengan perasaan yang kualami, dan berkata apa adanya tentang diriku dihadapanmu. Hanya itu yang sementara ini aku ingini, belajar untuk bisa melakukan kejujuran.
Jika kejujuran kita membuat resah hati seseorang, jika keterusterangan kita mengganggu tidur malam seseorang, jika apa yang keluar dari suara hati ini menjadikan diri orang lain tersakiti. Maka mohonlah maaf pafanya, atas ketidakkuasaan hati untuk memendam perasaan.
Kejujuran memang berat, dan terkadang kita dibuat tidak berdaya dan serba salah dengan kejujuran itu sendiri. Antara ya dan tidak, antara suka dan benci, antara menerima dan menolak, antara mengakui dan menutupi, sulit memang untuk bisa mengatakan “tidak” tanpa harus menyakiti kesucian hati. Kalau penulis sendiri ditanya seperti itu, sementara hati ini belum berpikir ke situ, penulis pun akan.
Terkadang penulis sendiri juga bingung, apakah juga dikatakan kejujuran meski menyakiti perasaan, kalau perasaan orang sedih karena kejujuran penulis, sementara itu merupakan hal yang benar yang telah penulis lakukan, mengapa orang itu tidak membuat penulis sedih karena kejujurannya? Dan jika merupakan kesalahan, mengapa engkau malah berbohong untuk kesedihanku? Bukankah itu lebih menyakitkan. Kalau engkau tidak mencintaiku mengapa harus berkata sayang, kalau engkau menyayangiku mengapa dirimu melupakanku, dan saat aku belajar untuk melupakanmu justru dirimu malah datang mengingatkan.
Kekasih, apa sebenarnya yang ingin engkau lakukan terhadapku? Kalau engkau mau bermain, mengapa harus perasaan yang jadi korban? Kalau engkau mau berteman, mengapa begitu mesra dengan apa yang terucapkan? Kalau engkau ingin bercanda dan tertawa, mengapa hati selalu kau bawa serta? Kalau engkau ingin bersahabat, mengapa dirimu begitu berhasrat hanya sekedar untuk curhat?. Kalau dirimu merasa kasihan padaku, maka berilah apa yang aku butuhkan bukan malah kebohongan. Kalau dirimu tidak tega, maka bantulah aku semampu dirimu bisa, bukan malah menyiksa dengan kemesraan ungkapan kata-kata.
Yang terjadi biarlah terjadi, Karena, hanya itu yang sanggup kuucapkan sebagai wujud kepasrahan akan kehendak yang telah Dia berikan, sebagai wujud rasa syukur Karena, aku sanggup berkata jujur kepadamu. Ketahuilah, apapun yang telah engkau katakan kepadaku, aku menerimanya dengan segala kerendahan hati, Karena, aku sendiri sadar dengan segala kekurangan dan kekhilafan ini. Tak ada marah dalam hati, tak ada kesal membakar jiwa, tak ada dendam menghasut sukma, dan tak ada putus asa menindih cita. Aku hanya memohon semoga diri ini senantiasa bisa jujur kepadamu, berterus terang dengan perasaan yang kualami, dan berkata apa adanya tentang diriku dihadapanmu. Hanya itu yang sementara ini aku ingini, belajar untuk bisa melakukan kejujuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar