di tulis oleh sahabat saya..
Lagi- lagi masalah itu menghampiriku. Ingin rasanya aku menangis, tapi aku tak sanggup melakukannya. Aku tak mau merusak suasana hangat yang tercipta di Keluarga kecilku ini. “Nak, tampaknya engkau mengantuk, tidurlah dulu Nak, masih ada waktu 3 jam sebelum waktu shubuh.” Lantunan suara indah dari ibu membuatku terpaksa menahan tangis dan bermain peran seolah- olah aku memang menjadi seseorang yang mengantuk. Itu semua terpaksa aku lakukan karena aku tak mau ibu terbebani jika ia mengetahui masalah yang sebenarnya kualami.
Akhirnya aku pun memutuskan untuk masuk ke kamar setelah meminta maaf terlebih dahulu pada ibu dan ketiga adikku karena aku tak bisa menunaikan janji kami untuk tidak memejamkan mata sehabis shalat tahajud hingga Adzan Shubuh pertanda aktivitas akan dimulai dikumandangkan . Namun setibanya di kamar bukannya hasrat untuk tidur yang tiba, justru bayang- bayang besar masalah itu yang kembali menggangguku.
Kucoba alihkan pikiranku dan tak lupa aku segera menyimpan benda kecil berhargaku di tempat rahasia ku agar tak ada yang tahu perihal masalah- masalah yang menganggu hidupku kini, termasuk ibu dan ketiga adikku. Kudengar suara merdu dari ibu dan ketiga adikku yang melanjutkan membaca ayat demi ayat pada kitab suci Al- Qur’an. Sebenarnya aku ingin sekali bersama mereka tapi aku tak mau mereka curiga jika melihat diriku menangis seketika. Aku memang tak ingin tidur hingga akhirnya diriku berbaring dan mendengarkan secara seksama bacaan dari keluarga kecilku itu. “Maafkan aku ibu.” Itulah kata yang ingin kuucapkan pada ibu. Karena malam ini aku telah membohonginya dengan pura- pura mengantuk. Tapi mau bagaimana lagi jika hal ini tak kulakukan , Ibu pasti akan curiga padaku dan terus menginterogasiku hingga terkuaklah segala masalah yang kualami.
Tiga jam aku berbaring di tempat tidur. Memejamkan mata namun pikiranku melanglang buana. Walau benda kecil itu telah kusimpan masalah itu tetap menghantuiku. Berulang kali kuucap Istigfar hingga waktu shubuh pun tiba.
Ku bangun dari tempat tidur lalu bersiap- siap untuk shalat shubuh di masjid. Ibuku menyampaikan bahwa ketiga adikku telah pergi ke masjid lebih dahulu dibandingku. Aku pun segera menyusul mereka. Di tengah perjalanan ku berjumpa dengan Adit, teman kuliahku.
“Assalamu’alaikum, Azra kamu ikut kompetisisi mahasiswa berprestasi kan? Pendaftaran terakhirnya itu hari Rabu depan ya? ”
“ Soal itu aku belum tahu pasti, Adit. Masih lihat kondisi dan situasi. Iya, pendaftarannya memang rabu depan. Kamu sendiri bagaimana? Ikut kan?”
“Jangan begitu Adit, kamu harus ikut. Sayang sekali kalau mahasiswa berbakat sepertimu tidak ikut. Karena aku yakin kalau kamu ikut pasti kamu akan lolos hingga tingkat internasional. Kalau aku Insya Allah ikut. Aku sudah didaftarkan oleh saudaraku yang kebetulan kerja di dekat hotel Jayabala tempat pendaftaran. ”
Aku hanya tersenyum menanggapi pujian dari Adit. Rupanya tak terasa kami telah sampai di depan masjid. Aku dan Adit segera masuk dan mengisi shaf yang kosong. Iqamat dikumandangkan, aku berdiri dan mendirikan shalat mengikuti gerakan imam.
Usai shalat aku memanjatkan doa dan harapku. Saat ku tutup doaku dengan shalawat. Kulihat ketiga adikku telah duduk mengelilingiku dan mengajakku untuk pulang bersama. Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Aku masih teringat dengan omongan Adit tadi. Untung saja ketiga adikku tak mengajakku bicara seperti biasanya.
Sesampainya di rumah, aku bersiap- siap untuk kuliah dan tak lupa kumasukkan barang yang kuanggap amat berharga bagi hidupku ke dalam tas. Sementara ketiga adikku menyiapkan diri untuk sekolah. Setelah persiapan usai kami sarapan bersama lalu berpamitan dengan ibu dan berangkat ke tujuan kami masing- masing. Arah kampusku berbeda dengan sekolah ketiga adikku. Sehingga otomatis aku berjalan sendirian ke kampusku.
Lagi-lagi kulihat spanduk yang terpajang di depan kampusku. Spanduk himbauan tuk mengikuti ajang kompetisi mahasiswa berprestasi yang hadiahnya beasiswa ke luar negeri. Rasanya ingin aku menangis. Jiwaku berteriak menyuarakan hasratku yang kuat untuk mengikuti lomba itu tapi apa daya aku tak punya uang untuk membayar biaya pendaftaran yang cukup besar. Karena kompetisi kali ini biaya pendaftarannya ditanggung oleh peserta tak lagi ditanggung oleh universitas seperti biasanya. Ku menghela nafas dan bergegas untuk melangkahkan kaki ke ruang kuliahku.
Ketika berjalan menuju ruang tempat perkuliahanku. Ku lihat Adit yang sedang duduk di kursi taman yang ada di gedung fakultasku. Ia tampak sibuk dengan laptopnya. Hal ini memang konsekuensi keikutsertaannya dalam kompetisi mahasiswa berprestasi yang harus membuat presentasi tentang makalah dari penelitian yang ia buat. Pemandangan itu yang membuatku menepis segala kesedihanku. Aku sadar memang kompetisi itu tak mungkin aku ikuti.Aku mungkin bisa memaksakan ikut dengan meminjam uang untuk digunakan sebagai biaya pendaftaran tetapi aku tak bisa bekerja maksimal. Aku tak punya laptop bahkan komputer yang amat diperlukan untuk membuat segala keperluan untuk kompetisi itu. Memang di sekitar universitasku banyak tersebar rental komputer. Lagi- lagi aku juga harus menyadari bahwa aku tak sekedar menyandang predikat sebagai mahasiswa seperti teman- temanku yang lain karena aku juga bekerja sampingan pada sebuah perusahaan sebagai supir angkutan pengangkat barang demi membantu ibuku dalam memenuhi kebutuhan sehari- hari serta biaya pendidikan aku dan ketiga adikku.
Aku telah mengikhlaskan kesempatan itu. Kuharap Adit, bisa menang. Aku tahu walau ia anak seorang pengusaha terkaya di kotaku. Ia tetap dididik sebagai anak yang rendah hati dan gigih. Itulah yang menyebabkanku tak sedikitpun menyimpan rasa iri padanya.
Kuhentikan semua pikirku mengenai kompetisi itu. Aku fokuskan diriku untuk menyimak mata kuliah yang disampaikan dosenku. Tiga jam berlalu selesailah segala aktivitasku di kampus. Namun ini tak berarti aku dapat langsung pulang. Aku harus segera berangkat ke tempat kerjaku. Lelah memang yang kurasa tapi ketika aku mengingat amanah yang disampaikan ayah sebelum meninggal, semangat memenuhijiwaku dan membakar kelelahan yang menyelimuti ku.
Pada hari Kamis ini aku ditugaskan untuk mengantarkan barang pada kantor penerbitan majalah terkemuka di Indonesia. Dengan penuh rasa tanggung jawab aku menunaikan tugas ini. Namun di tengah perjalanan aku melihat seorang laki- laki terkapar di jalan dan berlumuran darah. Sepertinya ia korban tabrak lari. Tanpa berpikir panjang aku segera membawanya ke rumah sakit.
Setelah usai mengurus segala administrasi untuk korban tabrak lari itu di rumah sakit aku sadar bahwa telah dua jam berlalu. Itu artinya aku telah lambat menunaikan tugasku selama itu pula. Aku bermaksud segera melanjutkan tugasku karena ku pikir bapak yang merupakan korban tabrak lari itu akan segera dihubungi keluarganya oleh pihak rumah sakit. Saat aku melangkahkan kaki menuju pintu keluar seorang suster berusaha mencegah kepergianku. Kuhampiri dia dan mencoba menanyakan penyebab ia menghentikan kepergianku. Rupanya Bapak yang tadi kutolong telah sadar ia meminta suster untuk memanggilkan orang yang telah menolongnya karena ia ingin mengucapkan rasa terima kasih. Tak sanggup aku menolak permintaan bapak itu . Akhirnya aku mengikuti suster ke kamar perawatan bapak itu walaupun aku tahu nantinya aku akan dapat teguran hebat dari bosku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar