Senin, 08 Juni 2015

Jurnal Skripsi


ANALISIS PENERAPAN  KONSEP VALUE FOR  MONEY

PADA  PEMERINTAH DAERAH  ISTIMEWA YOGYAKARTA





Abstract


Tri Siwi Nugrahani1



This study investigates whether the concept of Value for Money (VFM) can  be used to measure financial performance of Daerah Istimewa Yogyakarta Province. This study used financial  reports from D.I. Yogyakarta  Province in four years  between   2001
    2004. This study predicts whether the financial performances of D.I. Yogyakarta Province are economic, efficient, effective, and has raisen from year to year. The results show that the financial performance of D.I. Yogyakarta Province are economic and efficient enough, but does not  effective.

Keywords: Value for Money (VFM), economic, efficient, and   effective.

Latar Belakang Masalah

Pemberian otonomi dan desentralisasi yang luas, nyat a, dan bertanggung jawab kepada Kabupaten/Kota akan membawa konsek uensi perubahan pada pola dan si stem pengawasan yang mendasar dengan diberinya keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah t angganya sendiri. Diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, memberi arti penting bagi prose s reformasi lembaga sektor publik di Indonesia. Kedua UU tersebut memberi dasar bagi serangkaian reformasi        kelembagaan       dalam              rangka menciptakan  good           governance,                  yaitu pemerintahan yang  bersih, ekonomis, efektif, transparan, responsif, dan  akuntabel.
Peraturan Pemerintah No. 108/2000 tentang pertanggungjawaban Kepala Daerah menyarankan agar setiap akhir tahun anggaran, Kepala D aerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri dari Laporan Perhitungan APBD, Norma Perhitungan APBD, Laporan Arus Kas, dan Neraca Daerah yang dilengkapi dengan penilaian kinerja. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pada pasal 31 ayat 2 UU No. 17 Tahun 2003 juga mengamanatkan bahwa Laporan Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan dan belanja juga menjelaskan prestasi kerja satuan kerja perangkat daerah.
Dengan adanya reformasi, kewenangan daerah khususnya Kabupaten/Kota menjadi sangat luas. Daerah ti dak harus menunggu segala sesuatunya dari Pusat, melainkan bisa melakukan improvisasi sesuai kebutuhan dan aspirasi lo kal.  Hanya    saja

1 Dosen tetap FE Universitas PGRI Yogyakarta






kewenangan daerah yang luas ini telah menimbulkan masalah baru seperti munculnya fanatisme kedaerahan. Bupati/ Walikota seakan berubah menjadi “raja-raja kecil” dan otonom, yang bertendensi pada eksploitasi sumber untuk meningkatkan kontribusi PAD pada APBD. Sebagai kebijakan yang sifatnya reformatif, seharusnya bisa dilihat bagaimana kebijakan melalui perubahan kelembagaan in i dapat meningkatkan produktivitas faktor total (total factor productivity ), yang merupakan hakekat reformasi dari perspektif ekonomi  (Hamid, 2004).
Menurut studi Feriyanto (2001), t erkait dengan langkah sosialisasi tentang otonomi daerah yang dilakukan a nggota DPRD baik di Propinsi  maupun Kabupaten/Kota, menunjukkan sebagian besar masyarakat (51%) merasa DPRD sudah melakukan sosialisasi tentang otonomi daerah . Masyarakat Propinsi DIY memiliki kepercayaan cukup besar terhadap Pemda dal am melaksanakan otonomi daerah, namun sebesar 40% masyarakat yang mengerti tentang kinerja Pemda. Hal ini merupakan cambuk bagi Pemda untuk meningkatkan kinerjanya, supaya masyarakat menja di benar- benar paham dengan otonomi daerah.
Adapun pengukuran kinerja instansi pemerintah merupakan  alat  manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas dalam rangka menilai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan (program) sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dalam rangka mew ujudkan visi dan misi instansi pemerintah. Pengukuran kinerja merupakan suatu evaluasi terhadap instansi pemerintah mengenai kegiatan atau program yang telah dilaksanakan berdasarkan tolok ukur yang telah dibuat (standar minimum pelayanan publi k) atau berdasarkan basis regular dan pelayanan publik dalam rangka meningkatkan akuntabilitas publik. Ulum dan Murtin (2004) menguji pengkuruan kinerja instansi pemerintah pada UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dasar) di Kabupaten Sleman, dengan menggunakan konsep Value for Money, yang berdasarkan analisis varian. Hasil studi mereka menunjukkan bahwa kinerja pasar di Kabupaten Sleman cukup ekonomis, efisien, dan efektif.
Menurut Mardiasmo (2000), penerapan konsep Value for Money (VFM) penting bagi pemerintah sebagai pelayan masyarakat, karena implementasi konsep tersebut akan memberi manfaat untuk menilai: 1) efektivitas pelayanan publik, 2) mutu pelayanan publik,  3)  alokasi  belanja  yang  lebih  berorientasi  pada  k epentingan  publik,  dan    4)






meningkatkan public cost awareness sebagai akar pelaksanaan pertanggungjawaban publik. Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan  dana  masyarakat  yang mendasarkan konsep VFM, maka diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah yang berorientasi pada kinerja ( performance budget). Anggaran kinerja tersebut adalah untuk mendukung terciptanya akuntabilitas publik pemerintah daerah dalam rangka otonomi dan desentralisasi. Ia menyarankan bahwa  sistem  anggaran daerah sebaiknya mempunyai karakteristik sebagai  berikut:
1.     Anggaran daerah harus bertumpu pada kepentingan publi  k.
2. Anggaran daerah harus dikelola dengan hasil yang baik dan biaya rendah ( work better and cost less).
3.     Anggaran daerah harus mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus angga ran.
4.     Anggaran daerah harus dikelola dengan pendekatan kinerja  (performance oriented) untuk seluruh jenis pengeluaran maupun  pendapatan.
5.     Anggaran daerah harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di setiap organisasi yang terkait.
6.     Anggaran daerah harus dapat memberikan keleluasaan bagi para pelaksananya untuk memaksimalkan pengelolaan dananya dengan memperhatikan prinsip VFM.

Pemerintahan daerah seperti Kodya Yogyakarta, Pemda Bantul, Sleman, Kulon Progo, dan Gunung Kidul merupakan suatu pemerintahan yang bernaung dibawah Propinsi DI Yogyakarta. Oleh karena itu diperlukan penilaian kinerja pada pemerintahan daerah otonom Propinsi DIY. Salah satu  penilaian  kinerja  dapat digunakan dengan dasar konsep VFM (Value for  Money).  Penilaian  VFM  ini merupakan penilaian kinerja  finansial.
Selain penilaian finansial, terdapat penilaian kinerja yang bersifat non finansial, yaitu penilian pada kualitas pelayanan dengan memperhatikan kualitas yang konsisten, yakni memenuhi ekspektasi pelanggan sasaran ( Ellitan, 2001). Ada 2 (dua) faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan, yaitu pelayanan yang  diharapkan  dan  pelayanan yang dirasakan (Parasuraman, et al. 1994 dalam Ellitan, 2001 ). Apabila pelayanan yang diterima   atau   dirasakan  sesuai   dengan   yang  diharapkan ,   maka   kualitas pelayanan






dipersepsikan baik dan memuaskan. Kualitas yang baik harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan (Kotler, 1994). Citra kualitas yang baik tidak berdasarkan persepsi penyedia rasa, melainkan berdasarkan persepsi  pel anggan yang merupakan penilaian menyeluruh atas keunggulan suatu  pelayanan.
Kinerja sektor publik bersifat multidimensional sehingga tidak ada indikator tunggal untuk menunjukkan kinerja secara komprehensif. Berbeda dengan sektor swasta, karena sifat output yang dihasilkan sektor publik lebih banyak bersifat intangible output, maka ukuran finansial saja tidak cukup untuk  mengukur  kinerja sektor publik. Oleh karena itu perlu  dikembangkan  ukuran  kinerja  non-finansial. Penilian kinerja sektor publik dapat dil akukan secara obyektif dan ideal, misalnya berkaitan dengan efisiensi biaya dan kualitas pelayanan yang sesuai dengan tujuan (fitness for purposes), dan konsisten dengan kepuasan publik (public satisfaction) yang ditunjukkan dengan  rendahnya complain dari masyarakat.
Masyarakat menghendaki ada pertangg ungjawaban mengenai  pelaksanaan kinerja sektor publik, termasuk kinerja Pemda DIY. Menurut Mardiasmo (2000), penerapan penilaian kinerja sektor publik dapat dilakukan dengan menerapkan k onsep Value for Money (VFM) yang merupakan ekspresi pelaksanaan kinerja sektor publik dengan berdasarkan tiga elemen yaitu: ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Adapun pengertian masing-masing elemen  yaitu:
1.      Ekonomi: pemerolehan input dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada h arga yang termurah. Ekonomi merupakan perbandingan  input dengan input  value.
2.      Efisiensi: tercapainya output yang maksimum dengan input tertentu. Efisiensi merupakan perbandingan output dengan input yang dikaitkan dengan standar kinerja yang telah ditetapkan.
3.      Efektivitas: tingkat pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan, secara sederhana efektivitas merupakan perbandingan outcome  dengan  output (target result).
Secara garis besar penerapan penilaian kinerja dengan konsep Value for Money dibagi menjadi dua indikator kinerja, yaitu: 1) Indikator a lokasi biaya (meliputi elemen ekonomi dan efisiensi), dan 2) Indikator kualitas pelayanan (elemen efektivitas). Kedua indikator kinerja tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan oleh pihak internal  Pemda DIY  maupun  eksternal  (masyarakat).  Pihak  internal,  dalam  hal  ini  Pemda  DIY dapat






menggunakan indikator alokasi biaya sebagai upaya dalam rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan serta efisiensi biaya yang  menunjukkan  perhatian untuk dilakukan perbaikan. Pihak eksternal, dalam hal ini masyarakat  dapat menggunakan indikator kinerja efektivitas sebagai kontrol dan sekaligus sebagai informasi dalam rangka mengukur tingkat akuntabilitas  publik.
Menurut Halim (2004), dalam menilai kinerja keuangan daerah dapat menggunakan beberapa rasio antara lain: rasio kema ndirian keuangan daerah, rasio efektivitas dan efisiensi PAD, rasio aktivitas, debt service coverage ratio , dan rasio pertumbuhan.
Studi ini bermaksud menyederhanakan penilaian  kinerja  sektor  publik  (dalam hal ini Pemda DIY) dengan menggunakan konsep Value for Money yang difokuskan pada ekonomis, efisien, dan efektivitas. Dalam perhitungan penerapan konsep VFM, menggunakan cara yang lebih disederhanakan antara perhitungan menurut Mardiasmo (2000), dengan Halim (2004). Peneliti membatasi pada penerapan konsep VFM ini dengan menggunakan perhitungan efisiensi dan efektivitas berdasar kan perhitungan Halim (2004) dengan alasan perhitungan tersebut lebih sederhana dan lebih mudah diterapkan. Sehubungan dengan masalah di atas, maka masalah pokok dalam penelitian ini dan dirumuskan sebagai berikut:
1.      Apakah penilaian kinerja finansial Pemda DIY dengan menggunakan konsep Value for Money cukup ekonomis, efisien, dan  efektif?
2.      Apakah kinerja finansial Pemda DIY mengalami peningkatan dari tahun ke   tahun?


Penelitian ini selanjutnya diorganisasi kan sebagai berikut. Bagian pertama, menguraikan latar belakang masalah. Bagian kedua membahas kerangka teori dan pengembangan hipotesis. Bagian ketiga membahas metoda penelitia n. Bagian keempat menguraikan analisis data dan pengujian hipotesis. Bagian kelima, berisi kesimpulan dan keterbatasan.

Kerangka  Teori dan Pengembangan Hipotesis

Sesuai dengan anjuran Pemerintah dalam UU No. 22 dan No. 25 Tahun 1999 memberi arti penting bagi proses reformasi lembaga sektor publik di Indonesia. Kedua UU  tersebut  memberi  dasar  bagi  serangkaian  reformasi  kelembagaan  dalam   rangka






menciptakan good governance, yaitu pemerintahan yang bersih, ekonomis, efektif, transparan, responsif, dan akunta bel. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik (public service) secara ekonomis, efisien dan efektif adalah dengan memberikan otonomi dan desentralisasi  pertanggungjawaban Pemda  DIY.
Sebagai konsekuensi logis dari desentralisasi tersebut adalah adanya pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam menggunakan dana, baik yang berasal dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah sendiri. Namun , harus diperhatikan bahwa pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam menggunakan dana tersebut harus diikuti dengan mempertanggungjawabkan dana sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat daerah.
Agar pengelolaan dana masyarakat yang sangat besar  tersebut  dilaksanakan secara transparan, maka diperlukan penilaian kinerja Pemda DIY dengan menerapkan konsep Value for Money untuk menjamin dikelolanya uang rakyat secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, akuntabel , dan berorientasi pada kepentingan publik. Akuntabilitas bukan sekedar kemampuan menunjukkan bagaimana uang publik dibelanjakan, akan tetapi meliputi kemampuan menunjukkan bahwa uang publik tersebut telah dibelanjakan secara ekonomis, efisien , dan  efektif.
Menurut Ulum dan Murtin (2004), penelitian pengukuran kinerja sektor publik dengan berdasarkan konsep VFM perlu ditindak l anjuti  untuk meningkatkan akuntabilitas publik. Mereka meneliti dengan menggunakan sampel retribusi dari beberapa pasar yang berada di Kabupaten Sleman  (Unit  Pelaksana  Teknis  Dasar) dengan berdasarkan konsep Value for Money. Hasil studi mereka menunjukkan bahwa kinerja UPTD dengan konsep VFM  cukup ekonomis, efisien, dan  efektif.
Berdasarkan rekomendasi studi Ulum dan Murtin (2004) tersebut, menimbulkan minat peneliti untuk menguji lebih lanjut kebermanfaatan konsep VFM dengan menekankan pada tingkat ekonomi, efisiensi, dan efektivitas kinerja sektor publik yang difokuskan pada Pemda DIY.
Pergantian pemerintahan orde baru ke orde  reformasi  menuntut  perubahan radikal dalam tata kepemerintahan (good governance) dalam skala nasional maupun daerah. Salah satu dampak perubah an ini adalah munculnya tuntutan pelaksanaan desentralisasi dalam wujud otonomi daerah yang memberi kan kewenangan yang lebih luas,  nyata,  dan  bertanggung  jawab  kepada  daerah  secara  proporsional.     Pemberian






kewenangan ini telah diwujudkan dengan pengaturan p embagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional dan perimbangan keuangan pusat dan  daerah  sesuai  dengan prinsip demokrasi dan peran serta  masyarakat.
Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola  keuangannya  sendiri dituangkan dalam bentuk APBD yang secara langsung maupun tidak langsung mencerminkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas - tugas pemerintahan, pembangunan, dan pe layanan sosial masyarakat. Pemda DIY merupakan salah satu instansi pemerintah yang diberikan kewenangan dalam mengelola keuangannya.
Tujuan otonomi daerah menurut Halim (2004) , dibedakan dari dua sisi kepentingan, yaitu kepentingan pemerintah pusat dan kepen tingan pemerintah daerah. Tujuan utamanya pemerintah pusat  adalah  kepentingan  politik,  pelatihan kepemimpinan, menciptakan stabilitas politik, dan mewu judkan demokrasi sistem pemerintahan di daerah. Dilihat dari pemerintah daerah, otonomi daerah mempunyai tiga tujuan, yaitu:
1.     Untuk mewujudkan political equality, artinya melalui otonomi daerah diharap - kan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk berpartisi pasi dalam aktivitas politik di tingkat lo kal.
2.     Untuk mewujudkan local accountability, artinya dengan otonomi akan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak -hak masyarakat.
3.     Untuk mewujudkan local responsiveness, artinya dengan otonomi daerah diharapkan akan mempermudah antisipasi terhadap berbagai masalah yang muncul dan sekaligus meningkatkan akselerasi  pembangunan  so sial  dan ekonomi daerah.

Sebagai konsekuensi dari kew enangan otonomi yang luas, Pemda  D.I. Yogyakarta mempunyai kewajiban untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat secara demokratis, adil, merata, dan berkesinambungan. Untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah sat unya bisa diukur melalui kinerja keuangan sektor daerah dengan menggunakan konsep Value for Money (VFM).






Penggunaan analisis kinerja berdasarkan konsep VFM belum banyak dilakukan, sehingga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai konsep ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Meski demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan  akuntabel ,  maka  penilaian kinerja dengan konsep VFM  terhadap Pemda DIY tetap perlu  dilaksanakan.
Menurut Ulum dan Murtin, (2004), dalam Pasal 31 ayat 2 UU No. 17 Tahun 2003 mengamanatkan satuan kerja perangkat daerah perlu membuat Laporan Realisasi Anggaran guna  menilai prestasi  kinerja. Begitu pula  dalam   Peraturan Pemerintah   No.
108 Tahun 2000 yang berisi perlunya prestasi kinerja kepala daerah, yaitu dengan meminta pertanggungjawaban kepala daerah di setiap akhir tahun anggaran untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri dari Laporan Perhitungan APBD, Norma Perhitungan APBD, Laporan Arus Kas, dan Neraca Daerah yang dilengkapi dengan penilaian kinerja. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penilaian kinerja sektor daerah dapat digunakan dengan konsep Value  for  Money,  yang berdasarkan analisis varian.
Menurut Mardiasmo dan Jaya (1999), pemberian otonomi yang luas dan desentralisasi pada pemerintah daerah (Kabupaten dan Kota), memberi jalan bagi pemerintah daerah untuk melakukan pembaharuan dalam s istem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Widodo (dalam Halim, 2004) menguji kinerja keuangan pemerintah daerah berdasarkan analisis rasio keuangan, menganalisis rasio  keuangan pada APBD Kabupaten Boyolali Jawa Tengah period e tahun anggaran 1997-2000. Hasil studinya mengatakan bahwa kemandirian Pemda Kabupaten Boyolali dalam memenuhi kebutuhan dana untuk penyelenggaraan tugas -tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat masih relatif rendah dan cenderung turun bahkan sampai 8,76%; kemudian sebagian besar pendapatan Kabupaten Boyolali masih diprioritaskan untuk mencukupi belanja rutin, dan memiliki potensi untuk melakukan pinjaman dalam mencukupi kebutuhan belanja.
Studi lain yang berkaitan dengan kinerja Pe mda dilakukan oleh Yuliati (dalam Halim, 2004) yang meneliti tentang kemampuan daerah dala m menghadapi otonomi daerah di Kabupaten Malang, dan studi Armayani (dalam Halim, 2004) yang menguji kinerja   Pemda   di   Kabupaten   Wajo   Sulawesi   Selatan .   Hasil   penelitian     mereka






menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan Pemda terhadap pemerintah pusat masih sangat tinggi, bahkan dalam membiayai  belanja rutinnya.
Hastuti dan Munartono (2005) menguji k inerja  keuangan  pemerintah  daerah Kota Semarang yang dihitung dengan menggunakan rasio keuangan terhadap APBD dan realisasi APBD sebelum dan setelah otonomi daerah. Hasil studi mereka menunjukkan sebagian besar kinerja Pemda Semarang antara sebelum dan setelah otonomi daerah tidak berbeda, dan hanya pada rasio efektivitas dan DSCR yang signifikan.
Terdapat berbagai cara dalam menilai kinerja finansial sektor publik, misalnya Balanced Score Card, FEE (The Federation des Expects Compatables Eurepees ), dan Value for Money (Ulum dan Murtin, 2004). Halim (2004) mengemukakan penilaian kinerja berdasarkan berbagai rasio keuangan, diantaranya Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, Rasio Efektivitas dan Efisiensi P endapatan Asli  Daerah,  Rasio  Keserasian, Debt Service Coverage Ratio  (DSCR), dan Rasio Pertumbuhan.
Studi ini mencoba mendasarkan konsep penilaian kinerja finansial berdasarkan Value for Money yang terdiri dari ekonomi, efisiensi, dan efektivitas, serta dengan menggunakan rumus yang lebih mudah untuk diterapkan. Apabila dicermati lebih jauh, ternyata penilaian kinerja berdasarkan Value for Money hampir sama dengan Model FEE, karena keduanya sama-sama berdasarkan ekonomi, efisiensi, dan   efektivitas.
Berdasarkan kajian teori dan beberapa hasil penelitian diatas yang berkaitan dengan ekonomi, efisiensi dan  efektivitas, maka pengajuan hipotesis sebagai   berikut: H1:  Kinerja Finansial Pemerintah Daerah  DIY cukup  ekonomis
H2: Kinerja Finansial Pemerintah Daerah DIY cukup efisien H3:  Kinerja Finansial Pemerintah Daerah DIY cukup  efektif

Metoda Penelitian

Pengumpulan Data dan Pemilihan  Sampel
Pengumpulan data penelitian menggunakan sekunder yang diperoleh  dari  Biro Pusat Statistik Pemda DIY berupa data tentang APBD dan realisasi APBD periode 2002-2004, sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah APBD dan realisasi APBD Pemda DIY perioda 4 (empat)  tahun.






Definisi Operasional dan Pengukuran  Variabel

Ekonomi berkaitan dengan pemerolehan input denga n kualitas tertentu dengan harga terendah. Pengukuran ekonomi melalui rasio antara masukan aktual dengan yang direncanakan (Lapsey dalam Ulum dan Murtin, 2004 ). Kinerja pemerintah daerah akan dikatakan ekonomis bila rasionya diatas 100%, atau jumlah realisasi penerimaan melebihi jumlah anggaran yang ditetapkan.
Rasio Ekonomi = Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Anggaran Penerimaan Pendapatan Asli Daerah
Efisiensi adalah pencapaian output yang maksimum  dengan  input  tertentu. Efisiensi dapat menggambarkan perbandingan antara besar nya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Kinerja pemerintah daerah akan dikatakan efisien bila rasionya kurang dari  1  atau  dibawah 100%, semakin kecil rasio efisiensi berarti r asio kinerja akan semakin  baik.
Rasio Efisiensi =  Biaya yang dikeluarkan untuk memungut PAD
Realisasi Penerimaan PAD
Efektif adalah tingkat pencapaian hasil program dengan target  yang ditetapkan. Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan dibandingkan de ngan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Dikatakan efektif jika rasio yang dicapai sama dengan 1 atau 100%, namun demikian semakin tinggi rasio efektivitas maka semakin  baik.
Rasio Efektivitas =  Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah
Target Penerimaan PAD Berdasar Potensi Riil


Metoda Analisis Data dan Pengujian Hipotesis Metoda Analisis

Pada dasarnya metoda analisis penelitian ini digunakan metoda analisis kualitatif dan kuantitatif. Setelah data terkumpul, selanjutnya data yang bersifat k uantitatif yang berwujud angka-angka hasil perhitungan atau pengukuran dapat diproses dengan beberapa cara yaitu:  diklasifikasikan dan dianalisis.

Gambaran Obyek Penelitian

Berdasarkan Tabel 1 mengenai Penerimaan Daerah Otonom Propinsi DIY menunjukkan bahwa  penerimaan terdiri dari Penerimaan Daerah,  serta  Urusan Kas   dan






Perhitungan. Dalam Penerimaan Daerah terdiri dari Sisa Le bih Tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan,  dan  Penerimaan  Pembangunan.  Secara absolute terlihat penerimaan daerah dari tahun 2001 ke 2004 terus meningkat. Demikian pula jika dilihat dari Pendapatan Asli Daerah yang terus bertambah. Hal ini m enunjukkan kinerja keuangan Propinsi DIY cukup baik.

Tabel 1

Penerimaan Daerah Otonom Propinsi DIY Tahun Anggaran 2001-2004 (Dalam Ribuan  Rp)


Rincian
2001
2002
2003
2004
A. Penerimaan Daerah
433,827,275.00
452,184,422.00
497,215,369.00
581,888,751.00
1. Sisa Lebih Tahun Lalu
47,510,550.00
40,620,551.00
46,665,550.00

2. Bagian Pendapatan Asli Daerah(PAD)

142,284,892.00

169,489,772.00

208,475,720.00

290,099,681.00
a. Pajak
123,516,267.00
151,400,413.00
181,334,683.00
256,636,192.00
b. Retribusi Daerah
3,964,474.00
4,094,953.00
7,965,877.00
9,920,690.00
c. Laba BUMD
4,385,831.00
7,577,808.00
8,168,984.00
13,245,721.00
d. Penerimaan dari Dinas-dinas




e. Penerimaan Lainnya
10,418,320.00
6,461,598.00
11,006,176.00
10,297,078.00
3. Bagian Dana Perimbangan
244,031,833.00
234,634,099.00
234,634,099.00
276,844,070.00
a. Bagi Hasil Pajak
21,091,033.00
20,154,099.00
20,154,099.00
28,795,070.00
b. Bagi Bukan Hasil Pajak
1,151,071.00



c. Dana Alokasi Umum (DAU)
110,234,799.00
214,480,000.00
214,480,000.00
248,049,000.00
d. Dana Alokasi Khusus (DAK)
111,554,930.00



e. Penerimaan Lainnya yang sah



14,945,000.00
4. Bagian Penerimaan Pembangunan


7,440,000.00

7,440,000.00

a. Dari Pemerintah Pusat/Pemda Kab/Kota


7,440,000.00

7,440,000.00

b. Pinjaman Pemerintah Daerah




c. Pinjaman Untuk BUMD




e. Penerimaan Lainnya




B. Urusan Kas dan Perhitungan
22,947,361.00
29,459,143.00
27,271,986.00

Jumlah
456,774,636.00
481,643,565.00
524,487,355.00
581,888,751.00
Sumber: BPS APBD DIY Tahun 2001 -2004






Berdasarkan Tabel 2 mengenai Pengeluaran Daerah Otonom Propinsi DIY menunjukkan bahwa pengeluaran terdiri dari pengeluaran Rutin, Pengeluaran Pembangunan, dan Urusan Kas dan Perhitungan. Dalam Pengeluaran Rutin ter bagi menjadi Belanja Pegawai, Barang, Pemeliharaan, Perjalanan Dinas, dan lain -lain. Pengeluaran Pembangunan terdiri dari Bidang Ekonomi, Sosial, Umum, Subsidi Pembangunan, dan Belanja Pembangunan lain. Pada Urusan Kas dan Pembangunan terbagi menjadi urusan rutin, dan urusan  pembangunan.

Tabel 2

Pengeluaran Daerah Otonom Propinsi DIY Tahun Anggaran 2001-2004 (Dalam Ribuan  Rp)


Rincian
2001
2002
2003
2004
A. Pengeluaran Rutin
274,975,337.00
359,325,447.00
437,747,116.00
127,364,651.00
1. Belanja Pegawai
161,381,145.00
244,342,304.00
270,090,183.00
90,248,307.00
2. Belanja Barang
22,351,479.00
27,872,156.00
46,998,625.00
14,541,797.00
3. Biaya Pemeliharaan
3,900,172.00
9,316,531.00
20,199,497.00
22,574,547.00
4. Belanja Perjalanan Dinas
1,924,755.00
6,683,590.00
9,998,669.00

5. Belanja Lain-lain




6. Anggaran Pinjaman/Hutang/Bunga
218,778.00
209,653.00
200,528.00

7. Ganjaran Subsidi dan Sumbangan kpd Daerah Bawahan

35,708,313.00

55,062,558.00

65,017,338.00

8. Pensiun/Bantuan




9.Pengeluaran Lain-lain
48,983,264.00



10. Pengeluaran Tak Terduga
507,431.00
5,475,300.00
10,180,336.00

B. Pengeluaran Pembangunan
54,310,863.00
60,589,289.00
59,468,252.00
543,347,389.00
1. Bidang Ekonomi
19,758,090.00
23,978,309.00
24,174,076.00
70,455,183.00
2. Bidang Sosial
9,350,387.00
10,728,756.00
19,248,832.00

3. Bidang Umum
2,477,922.00
25,446,724.00
13,747,076.00
212,769,586.00
4. Subsidi Pembangunan kpd Daerah Bawahan

431,464.00

435,500.00

2,298,268.00

158,899,388.00
5. Pembayaran Kembali Pinjaman




6. Belanja Pembangunan Lain-lain



15,000,000.00
C. Urusan Kas dan Perhitungan (UKP)

22,890,346.00

25,827,170.00

27,271,987.00

86,023,232.00
1. UKP Rutin
22,890,346.00
25,827,170.00
27,271,987.00

2. UKP Pembangunan




Jumlah
352,176,546.00
445,741,906.00
524,487,355.00
670,712,040.00
Sumber: BPS APBD DIY Tahun 2001 -2004






Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa pengeluaran rutin tahun 2004 mengalami penurunan, tetapi pada pengeluaran pembangunan sangat melonjak kenaikannya yaitu 813,67% dari tahun anggaran sebelumnya 2003. Berdas arkan data yang diperoleh dari BPS mengenai Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Propinsi DIY, menunjukkan format yang berbeda antara Laporan Pengeluaran tahun 2004, dengan tahun -tahun sebelumnya. Mulai tahun 2004, format mengenai Laporan pengeluaran daerah terbagi menjadi Aparatur Daerah, dan Pelayanan Publik. Adapun Format Laporan Pengeluaran Propinsi DIY Tahun 2004 sebagai  berikut:

Tabel 3

Perbandingan Format Laporan Pengeluaran Pemda DIY Tahun Anggaran 2004 (Dalam Ribuan  Rp)

Rincian
Nilai
Rincian
Nilai
A. Pengeluaran Rutin
127,364,651.00
A. Aparatur Daerah
127,364,651.00
1. Belanja Pegawai
90,248,307.00
1. Belanja Administrasi Umum
90,248,307.00

2. Belanja Barang

14,541,797.00
2. Belanja Operasi dan Pemeliharaan

22,574,547.00
3. Biaya Pemeliharaan
22,574,547.00
3. Belanja Modal
14,541,797.00
4. Belanja Perjalanan Dinas



5. Belanja Lain-lain



6. Anggaran Pinjaman/Hutang/Bunga



7. Ganjaran Subsidi dan Sumbangan kpd Daerah Bawahan



8. Pensiun/Bantuan



9.Pengeluaran Lain-lain



10. Pengeluaran Tak Terduga



B. Pengeluaran Pembangunan
543,347,389.00
B. Pelayanan Publik
543,347,389.00
1. Bidang Ekonomi
70,455,183.00
1. Belanja Administrasi Umum
212,769,586.00

2. Bidang Sosial

2. Belanja Operasi dan Pemeliharaan

70,455,183.00
3. Bidang Umum
212,769,586.00
3. Belanja Modal

4. Subsidi Pembangunan kpd Derah Bawahan

158,899,388.00
4. Belanja Bagi Hasil & Bantuan Keuangan

158,899,388.00
5. Pembayaran Kembali Pinjaman

5. Biaya Tidak terduga
15,000,000.00
6. Belanja Pembangunan Lain-lain
15,000,000.00


C. Urusan Kas dan Perhitungan (UKP)

86,023,232.00


1. UKP Rutin



2. UKP Pembangunan



Jumlah
670,712,040.00
Jumlah
670,712,040.00
Sumber: BPS APBD DIY Tahun 2001 -2004






Analisis Konsep Value for  Money
Sebelum melakukan analisis konsep Value for  Money,  terlebih dahulu menghitung berapa besar jumlah Realisasi, Anggaran, Biaya, dan Target Penerimaan Asli  Daerah  yang  dapat  dilihat  pada   Tabel   4.                                                                            Berdasarkan   Tabel   4, ditunjukkan realisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah dari tahun 2 001 hingga 2004 secara absolute terus meningkat dari tahun ke tahun, demikian pula dengan Anggaran Penerimaan, Biaya untuk PAD, dan target Potensi  PAD.

Tabel 4

Perhitungan Realisasi, Anggaran, Biaya, dan Target PAD Tahun Anggaran  2001 - 2004 (Dalam Ribuan Rp)


Keterangan
2001
2002
2003
2004
Realisasi Penerimaan PAD
142,284,892.00
169,489,772.00
208,475,720.00
290,099,681.00
Anggaran Penerimaan PAD
102,982,101.00
162,589,759.00
179,759,001.00
248,714,437.00
Biaya untuk PAD
110,234,799.00
214,480,000.00
214,480,000.00
248,049,000.00
Target PAD Potensiil
127,480,741.00
155,450,366.00
189,300,560.00
266,556,888.00


Sumber: data diolah


Tabel 5

Analisis Kinerja Finansial Propinsi DIY Berdasar Rasio  Ekonomis, Efisiensi, dan Efektivitas
Tahun  Anggaran 2001-2004



Keterangan
2001
2002
2003
2004
Rasio Ekonomi =
Realisasi Pen PAD/Angg Pen PAD

1.381646816

1.042438177

1.159751216

1.166396629
Rasio Efisiensi =
Biaya utk PAD/Realisasi Pen PAD

0.774747041

1.265445091

1.02880086

0.855047476
Rasio Efektivitas =
Realisasi Pen PAD/target Pen PAD

1.11612853

1.090314397

1.101294788

1.088321833
Sumber: data diolah
Tabel 5 menampilkan analisis kinerja keuangan  Propinsi  DIY  dengan berdasarkan konsep VFM yang terdiri dari ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Hasil uji VFM menunjukkan bahwa dari tahun 2001 -2005 kinerja Propinsi DIY cukup ekonomi s, efisien, dan efektif. Rasio Ekonomi tahun 2004 mencapai 116%, hal ini berarti realisasi






penerimaan PAD Propinsi DIY cukup ekonomis, karena jumlah realisasi penerimaan lebih besar dari jumlah anggaran.
Ditinjau dari pencapaian efisiensi, maka pada tahun 2004 kinerja  finansial Propinsi DIY efisien, karena pencapaian rasio kurang dari 100% atau sebesar 85%. Angka ini menunjukkan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh  PAD cukup efisien, dan kinerja Propinsi DIY cukup baik. Apabila dilihat berdasarkan efektivitas, maka kinerja keuangan Propinsi DIY kurang baik, karena pencapaian efektivitas melebihi 100%, yaitu 108% pada tahun 2004. H al ini menunjukkan pemerintah daerah Propinsi DIY dalam menentukan target penerimaan potensi riil PAD masih kurang, karena jumlah realisasi penerimaan PAD lebih besar dibanding target yang ditentukan.
Dari hasil pengujian hipotesis yang ditampilkan pada Tabel 5  menunjukkan bahwa kinerja keuangan Propinsi DIY cukup ekonomi, dan efisien, namun tidak efektif. Sehingga hipotesis 1  dan 2 didukung, tetapi hipotesis 3 tidak didukung.

Tabel 6

Perkembangan Kinerja Finansial Propinsi DIY dari Tahun 2001- 2004


Kinerja Finansial

Rata-rata
Thn dasar 2001

Naik/Turun*

Naik/Turun*

Naik/Turun*



2002
2003
2004
Rata-rata Ekonomi
1.18755821
0
(0,12)*
0,28*
0,19
Rata-rata Efisiensi
0.981010117
0
0,48
(0,26)*
(0,19)*
Rata-rata Efektivitas
1.099014887
0
0,07
0,11
0,09
Sumber: Data diolah
Berdasarkan Tabel 6 dengan melihat perkembangan kinerja yang dihitung dari kinerja tahun yang bersangkutan dikurangi dengan tahun sebelumnya (t -t-1) dan dibagi dengan rata-rata menunjukkan bahwa tingkat perkembangan kinerja finansial propinsi DIY tidak sepenuhnya baik, karena dari tahun ke tahun tidak seluruhnya mengalami peningkatan kinerja. Apabila dilihat dari rasio ekonomis menunjukkan bahwa  tahun 2002 turun sebesar 12%, tahun 2003 turun lagi sebesar 28%, namun pada tahun 2004 meningkat sebesar 19%. Efisiensi finansial propinsi DIY menunjukkan kinerja yang kurang baik, karena tahun 2003 turun 26%, dan di tahun 2004 turun lagi sebesar 19%.






Berdasarkan perkembangan efektivitas, maka kinerja Pemda Propinsi DIY cukup baik, karena dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yaitu 11% pada tahun 2003, dan 9% pada tahun 2004.

Penutup Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah p enerapan konsep  Value  for Money yang berdasarkan ekonomi, efisien, dan efektif dapat digunakan untuk menilai kinerja  finansial  Pemda  D.I.  Yogyakarta.  Penelitian  ini  menggunakan  sampel  Pemda
D.I. Yogyakarta dengan menggunakan data Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Propinsi D.I. Yogyakarta tahun  2001-2004.
Berdasarkan perbandingan jumlah penerimaan dan  pengeluaran  Propinsi  DIY dari tahun 2001-2004 secara absolute cukup ekonomis, efisien, dan efektif.  Apabila kinerja berdasarkan hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan konsep Value for Money, maka kinerja keuangan Pemda DIY cukup ekonomis, dan efisien, tetapi kurang efektif.
Namun, apabila dilihat berdasarkan naik-turunnya kinerja  Pemda  D.I. Yogyakarta dengan konsep VFM, menunjukkan bahwa kinerja finansial Pemda D.I. Yogyakarta terjadi penurunan. Berdasarkan pengujian analisa perkembangan kinerja selama 4 tahun menunjukkan kinerja Pemda DIY tidak sepenuhnya mengalami peningkatan. Hanya pada kinerja efektivitas yang mengalami peningkatan dari tahun 2002 hingga 2004. Kenaikan efektivitas tahun 2004 mencapai 9%. Perkemb angan ekonomi dan efisien tidak sepenuhnya meningkat. Pencapaian ekonomis pada  t ahun 2004 mengalami peningkatan sebesar 19%, tetapi pencapaian efisiensi turun sebesar 19% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (tahun  2003).

Keterbatasan

Ketersediaan data yang terbatas mengakibatkan penulis mengalami kesulitan dalam menganalisis data. Oleh karena itu riset mendatang sebaiknya lebih meninjau lagi pada kelengkapan data sehingga analisis data akan lebih   valid.






DAFTAR PUSTAKA


Ellitan, L. 2001. “Strategi Mendongkrak Kuailtas Pelayanan”. Jurnal Ekonomi STEI, No.15/Th.X/Januari-Maret.

Feriyanto,  N.,  2001.  “Penilaian  terhadap  Kesiapan  Pelaksanaan   Otonomi  Daerah   di
Propinsi DIY”. Jurnal Penelitian Logika. Vol.5, No. 6.  Juli.

Halim, Abdul. 2004. Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah . Salemba Empat, Jakarta.

Hamid, E.S. 2004. “Otonomi Daerah: Perspektif Teoritik dan Empirik (Resensi buku Otonomi dan Pembangunan Daerah karangan Mudrajat Kuncoro , Jurnal Ekonomi dan Pembangunan , Vol.9. No.1, Juni,   UII, Yogyakarta.

Hastuti, dan Munartono, Kinerja Keuangan Daerah Sebelum dan Setela h Otonomi Daerah: Studi Kasus Pada Pemerintah Daerah Kota Semarang”, Seminar Riset Ekonomi II, UNAIR  Surabaya.

Kotler, P., 1998. Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation and Control.”  9th  Edition, Prentice Hall, Inc., New York.

Mardiasmo, dan Kirana Jaya. 1999. “Pengelolaan Keuangan Daerah yang Berorientasi pada Kepentingan Publik”, Jurnal Akuntansi, Manajemen, dan Sistem In formasi (KOMPAK) STIE ”YO”, No. 21.pp. 385-402,  Yogyakarta.

                       ,  2000. “Reformasi Pengelolaan Keuangan Da erah: Implementasi    Value for Money Audit Sebagai Antisipasi Terhadap Tuntutan Akuntabilitas Publik.” JAAI, Vol. 4, 1 Juni, 2000.

                        , 2002.  “Akuntansi Sektor Publik”, Andi Offset , Yogyakarta.

Republik Indonesia,  Undang-undang No. 22 tahun 1999  tentang Pemerintahan Daerah.

Republik Indonesia, Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Primbangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Ulum, A.S., dan Murtin,A. 2004. “Pengukuran Kinerja Unit Pelaksana Teknis Dasar (UPTD) Pasar Studi Kasus Kabupaten Sle man’, Jurnal Akuntansi dan Investasi , Vol.5, No.1 Januari.

         . 2001. D.I. Yogyakarta Dalam Angka. Biro Pusat  Statistik

         . 2002. D.I. Yogyakarta Dalam Angka. Biro Pusat  Statistik

         . 2003. D.I. Yogyakarta Dalam Angka. Biro Pusat  Statistik

        _. 2004. D.I. Yogyakarta Dalam Angka. Biro Pusat  Statistik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar