ANALISIS PENERAPAN KONSEP VALUE
FOR MONEY
PADA PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Abstract
Tri Siwi Nugrahani1
This study investigates whether the concept of
Value for Money (VFM) can be used to measure financial performance of Daerah Istimewa Yogyakarta Province. This study used financial reports from D.I. Yogyakarta Province in four years between
2001
– 2004. This study predicts
whether the financial performances of D.I. Yogyakarta Province
are economic, efficient, effective, and has raisen from year to year. The results
show that the financial performance of D.I. Yogyakarta Province are
economic and efficient enough, but does not effective.
Keywords: Value for Money (VFM),
economic, efficient, and effective.
Latar Belakang Masalah
Pemberian otonomi dan desentralisasi yang luas, nyat a, dan
bertanggung jawab kepada Kabupaten/Kota akan membawa konsek uensi perubahan
pada pola dan si stem
pengawasan yang mendasar
dengan diberinya keleluasaan kepada pemerintah daerah
untuk mengatur dan mengurus rumah
t angganya sendiri.
Diberlakukannya UU No.22
Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, memberi arti penting bagi prose s reformasi lembaga
sektor publik di Indonesia. Kedua UU tersebut
memberi dasar bagi serangkaian reformasi kelembagaan dalam rangka menciptakan good governance, yaitu
pemerintahan yang bersih,
ekonomis, efektif, transparan, responsif, dan akuntabel.
Peraturan Pemerintah No. 108/2000 tentang pertanggungjawaban Kepala Daerah menyarankan agar setiap akhir
tahun anggaran, Kepala
D aerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri dari Laporan Perhitungan APBD, Norma Perhitungan APBD, Laporan Arus Kas, dan Neraca Daerah
yang dilengkapi dengan penilaian kinerja.
Berkaitan dengan hal tersebut,
maka pada pasal 31 ayat 2 UU No. 17 Tahun
2003 juga mengamanatkan bahwa Laporan Realisasi Anggaran
selain menyajikan realisasi pendapatan dan belanja
juga menjelaskan prestasi
kerja satuan kerja perangkat daerah.
Dengan adanya reformasi, kewenangan daerah khususnya Kabupaten/Kota menjadi sangat luas. Daerah ti dak harus menunggu segala
sesuatunya dari Pusat,
melainkan bisa melakukan improvisasi sesuai kebutuhan dan aspirasi lo
kal. Hanya saja
1 Dosen tetap FE Universitas PGRI Yogyakarta
kewenangan daerah yang luas ini telah
menimbulkan masalah baru seperti munculnya
fanatisme kedaerahan. Bupati/ Walikota
seakan berubah menjadi “raja-raja kecil” dan otonom, yang bertendensi pada eksploitasi sumber untuk meningkatkan kontribusi PAD pada APBD. Sebagai
kebijakan yang sifatnya
reformatif, seharusnya bisa dilihat bagaimana kebijakan melalui perubahan
kelembagaan in i dapat meningkatkan produktivitas faktor total (total factor productivity ),
yang merupakan hakekat
reformasi dari perspektif
ekonomi (Hamid, 2004).
Menurut studi Feriyanto (2001), t erkait dengan langkah
sosialisasi tentang otonomi daerah yang dilakukan a nggota DPRD baik di Propinsi
maupun Kabupaten/Kota, menunjukkan sebagian besar masyarakat (51%) merasa DPRD sudah melakukan sosialisasi tentang otonomi
daerah . Masyarakat Propinsi DIY memiliki
kepercayaan cukup besar
terhadap Pemda dal am melaksanakan otonomi daerah,
namun sebesar 40% masyarakat yang mengerti tentang kinerja Pemda.
Hal ini merupakan cambuk bagi Pemda untuk meningkatkan kinerjanya, supaya masyarakat menja di benar- benar
paham dengan otonomi daerah.
Adapun pengukuran kinerja instansi pemerintah
merupakan alat manajemen untuk meningkatkan kualitas
pengambilan keputusan dan akuntabilitas dalam rangka menilai
keberhasilan atau kegagalan
pelaksanaan kegiatan (program)
sesuai dengan sasaran
dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dalam rangka
mew ujudkan visi dan misi instansi pemerintah. Pengukuran kinerja
merupakan suatu evaluasi
terhadap instansi pemerintah mengenai kegiatan atau program yang telah dilaksanakan berdasarkan tolok ukur yang telah dibuat (standar
minimum pelayanan publi k) atau berdasarkan basis regular dan pelayanan publik dalam rangka
meningkatkan akuntabilitas publik. Ulum dan Murtin (2004) menguji pengkuruan kinerja instansi pemerintah pada UPTD (Unit Pelaksana Teknis
Dasar) di Kabupaten
Sleman, dengan menggunakan konsep Value for Money, yang berdasarkan analisis
varian. Hasil studi
mereka menunjukkan bahwa kinerja pasar
di Kabupaten Sleman
cukup ekonomis, efisien, dan efektif.
Menurut Mardiasmo (2000), penerapan konsep Value for Money (VFM) penting bagi pemerintah
sebagai pelayan masyarakat, karena implementasi konsep tersebut akan memberi manfaat
untuk menilai: 1) efektivitas pelayanan publik, 2) mutu pelayanan publik, 3) alokasi
belanja yang lebih
berorientasi pada k epentingan
publik, dan 4)
meningkatkan public cost awareness sebagai akar pelaksanaan pertanggungjawaban publik. Untuk mendukung dilakukannya
pengelolaan dana masyarakat yang mendasarkan konsep
VFM, maka diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah yang berorientasi pada kinerja ( performance
budget). Anggaran kinerja
tersebut adalah untuk
mendukung terciptanya akuntabilitas publik pemerintah daerah
dalam rangka otonomi dan desentralisasi. Ia menyarankan bahwa sistem anggaran daerah sebaiknya mempunyai karakteristik
sebagai berikut:
1. Anggaran daerah harus bertumpu pada kepentingan
publi k.
2. Anggaran daerah harus dikelola dengan hasil yang baik dan biaya rendah ( work better and cost less).
3. Anggaran daerah harus mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus angga ran.
4. Anggaran daerah harus dikelola dengan
pendekatan kinerja (performance oriented) untuk seluruh jenis
pengeluaran maupun pendapatan.
5. Anggaran daerah harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di setiap organisasi yang terkait.
6. Anggaran daerah harus
dapat memberikan keleluasaan bagi para pelaksananya untuk memaksimalkan pengelolaan dananya dengan memperhatikan prinsip VFM.
Pemerintahan daerah seperti Kodya Yogyakarta, Pemda
Bantul, Sleman, Kulon Progo, dan Gunung Kidul merupakan suatu pemerintahan yang bernaung dibawah Propinsi DI Yogyakarta. Oleh karena itu diperlukan penilaian
kinerja pada pemerintahan daerah otonom Propinsi DIY. Salah satu
penilaian
kinerja
dapat digunakan dengan dasar konsep VFM (Value for
Money). Penilaian VFM ini merupakan
penilaian kinerja finansial.
Selain penilaian finansial, terdapat penilaian kinerja
yang bersifat non finansial, yaitu penilian pada kualitas pelayanan
dengan memperhatikan kualitas
yang konsisten, yakni
memenuhi ekspektasi pelanggan sasaran ( Ellitan,
2001). Ada 2 (dua) faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan, yaitu pelayanan yang diharapkan dan pelayanan yang dirasakan (Parasuraman, et al. 1994 dalam Ellitan,
2001 ). Apabila pelayanan yang diterima atau
dirasakan sesuai dengan
yang diharapkan , maka
kualitas pelayanan
dipersepsikan baik dan memuaskan. Kualitas yang baik harus dimulai
dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan
(Kotler, 1994). Citra kualitas yang baik tidak berdasarkan persepsi penyedia rasa,
melainkan berdasarkan persepsi pel
anggan yang merupakan penilaian
menyeluruh atas keunggulan suatu pelayanan.
Kinerja sektor publik bersifat multidimensional sehingga
tidak ada indikator tunggal
untuk menunjukkan kinerja
secara komprehensif. Berbeda
dengan sektor swasta,
karena sifat output yang
dihasilkan sektor publik lebih banyak bersifat intangible output, maka ukuran finansial
saja tidak cukup untuk
mengukur
kinerja sektor publik. Oleh karena itu
perlu dikembangkan ukuran
kinerja non-finansial. Penilian kinerja sektor publik dapat dil akukan secara obyektif dan ideal, misalnya
berkaitan dengan efisiensi biaya dan kualitas pelayanan yang sesuai dengan tujuan (fitness for purposes), dan konsisten dengan
kepuasan publik (public satisfaction) yang ditunjukkan
dengan rendahnya complain dari masyarakat.
Masyarakat menghendaki ada pertangg ungjawaban mengenai pelaksanaan kinerja
sektor publik, termasuk
kinerja Pemda DIY. Menurut Mardiasmo (2000), penerapan penilaian kinerja sektor publik
dapat dilakukan dengan
menerapkan k onsep
Value for Money (VFM) yang
merupakan ekspresi pelaksanaan kinerja sektor
publik dengan berdasarkan tiga elemen yaitu:
ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Adapun
pengertian masing-masing elemen yaitu:
1. Ekonomi: pemerolehan input dengan kualitas
dan kuantitas tertentu
pada h arga yang termurah. Ekonomi merupakan
perbandingan input dengan input value.
2. Efisiensi: tercapainya output yang maksimum dengan input
tertentu. Efisiensi merupakan
perbandingan output dengan input yang dikaitkan dengan standar kinerja
yang telah ditetapkan.
3. Efektivitas:
tingkat pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan, secara
sederhana efektivitas merupakan perbandingan outcome dengan output (target result).
Secara garis besar penerapan penilaian kinerja dengan
konsep Value for Money dibagi menjadi
dua indikator kinerja,
yaitu: 1) Indikator
a lokasi biaya (meliputi elemen
ekonomi dan efisiensi), dan 2) Indikator
kualitas pelayanan (elemen
efektivitas). Kedua indikator kinerja tersebut seharusnya
dapat dimanfaatkan oleh pihak internal Pemda
DIY maupun eksternal
(masyarakat). Pihak internal,
dalam hal ini
Pemda DIY dapat
menggunakan indikator alokasi
biaya sebagai upaya
dalam rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas
pelayanan serta efisiensi
biaya yang menunjukkan
perhatian untuk dilakukan perbaikan. Pihak
eksternal, dalam hal ini masyarakat dapat
menggunakan indikator kinerja
efektivitas sebagai kontrol
dan sekaligus sebagai
informasi dalam rangka mengukur tingkat akuntabilitas publik.
Menurut Halim (2004), dalam
menilai kinerja keuangan daerah dapat menggunakan beberapa rasio antara lain: rasio kema ndirian keuangan daerah, rasio efektivitas dan efisiensi PAD, rasio aktivitas, debt service coverage ratio
, dan rasio
pertumbuhan.
Studi ini bermaksud menyederhanakan penilaian kinerja
sektor publik (dalam hal ini Pemda DIY) dengan menggunakan konsep Value for Money yang difokuskan pada ekonomis, efisien, dan efektivitas. Dalam perhitungan penerapan
konsep VFM, menggunakan cara yang lebih disederhanakan antara
perhitungan menurut Mardiasmo
(2000), dengan Halim (2004). Peneliti
membatasi pada penerapan
konsep VFM ini dengan menggunakan perhitungan efisiensi dan efektivitas berdasar
kan perhitungan Halim
(2004) dengan alasan perhitungan tersebut
lebih sederhana dan lebih mudah diterapkan. Sehubungan dengan masalah di atas, maka masalah pokok dalam penelitian ini dan dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah penilaian kinerja
finansial Pemda DIY dengan menggunakan konsep Value for
Money cukup ekonomis, efisien, dan efektif?
2. Apakah kinerja finansial Pemda DIY mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun?
Penelitian ini selanjutnya diorganisasi kan sebagai
berikut. Bagian pertama, menguraikan latar belakang masalah.
Bagian kedua membahas
kerangka teori dan pengembangan hipotesis. Bagian ketiga membahas
metoda penelitia n. Bagian keempat
menguraikan analisis data dan pengujian hipotesis. Bagian kelima,
berisi kesimpulan dan keterbatasan.
Kerangka Teori dan Pengembangan Hipotesis
Sesuai dengan anjuran
Pemerintah dalam UU No. 22 dan No. 25 Tahun
1999 memberi arti penting bagi proses reformasi lembaga sektor publik
di Indonesia. Kedua
UU tersebut memberi
dasar bagi serangkaian
reformasi kelembagaan dalam rangka
menciptakan good governance, yaitu pemerintahan yang bersih, ekonomis, efektif, transparan, responsif, dan akunta bel. Dalam rangka meningkatkan kualitas
pelayanan publik (public service) secara ekonomis, efisien
dan efektif adalah
dengan memberikan otonomi dan desentralisasi pertanggungjawaban Pemda DIY.
Sebagai konsekuensi logis dari desentralisasi tersebut
adalah adanya pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam menggunakan dana, baik yang berasal dari pemerintah pusat
maupun dari pemerintah daerah sendiri. Namun , harus diperhatikan bahwa
pelimpahan wewenang dan tanggung jawab
dalam menggunakan dana tersebut harus
diikuti dengan mempertanggungjawabkan dana sesuai dengan
prioritas dan aspirasi masyarakat daerah.
Agar pengelolaan dana masyarakat yang sangat besar tersebut dilaksanakan secara transparan, maka diperlukan penilaian
kinerja Pemda DIY dengan menerapkan konsep Value for Money untuk menjamin
dikelolanya uang rakyat
secara ekonomis, efisien,
efektif, transparan, akuntabel , dan berorientasi pada kepentingan publik.
Akuntabilitas bukan sekedar kemampuan menunjukkan bagaimana uang publik
dibelanjakan, akan tetapi meliputi
kemampuan menunjukkan bahwa uang publik
tersebut telah dibelanjakan secara ekonomis, efisien , dan efektif.
Menurut Ulum dan Murtin (2004),
penelitian pengukuran kinerja
sektor publik dengan berdasarkan konsep VFM perlu
ditindak l anjuti untuk meningkatkan akuntabilitas publik. Mereka
meneliti dengan menggunakan sampel retribusi dari
beberapa pasar yang berada di Kabupaten Sleman (Unit
Pelaksana Teknis Dasar) dengan berdasarkan konsep Value for Money. Hasil studi mereka
menunjukkan bahwa kinerja UPTD dengan konsep VFM cukup ekonomis, efisien, dan efektif.
Berdasarkan rekomendasi studi Ulum dan Murtin (2004)
tersebut, menimbulkan minat peneliti untuk menguji lebih lanjut
kebermanfaatan konsep VFM dengan menekankan
pada tingkat ekonomi,
efisiensi, dan efektivitas kinerja sektor publik
yang difokuskan pada Pemda DIY.
Pergantian pemerintahan orde baru ke orde reformasi
menuntut perubahan radikal dalam tata kepemerintahan (good
governance) dalam skala nasional maupun daerah. Salah satu dampak perubah
an ini adalah munculnya tuntutan
pelaksanaan desentralisasi dalam wujud otonomi
daerah yang memberi
kan kewenangan yang lebih luas,
nyata, dan bertanggung
jawab kepada daerah
secara proporsional. Pemberian
kewenangan ini telah diwujudkan dengan pengaturan p embagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional dan perimbangan
keuangan pusat dan daerah sesuai dengan
prinsip demokrasi dan peran serta masyarakat.
Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangannya sendiri dituangkan dalam bentuk
APBD yang secara langsung
maupun tidak langsung mencerminkan kemampuan
pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas - tugas pemerintahan, pembangunan, dan pe layanan
sosial masyarakat. Pemda DIY merupakan
salah satu instansi
pemerintah yang diberikan
kewenangan dalam mengelola
keuangannya.
Tujuan otonomi daerah menurut Halim (2004) , dibedakan
dari dua sisi kepentingan, yaitu kepentingan pemerintah pusat dan kepen tingan pemerintah daerah.
Tujuan utamanya pemerintah pusat adalah
kepentingan politik, pelatihan kepemimpinan, menciptakan stabilitas politik,
dan mewu judkan
demokrasi sistem pemerintahan di daerah. Dilihat
dari pemerintah daerah,
otonomi daerah mempunyai tiga tujuan, yaitu:
1. Untuk mewujudkan political equality, artinya melalui otonomi
daerah diharap - kan akan lebih membuka
kesempatan bagi masyarakat luas untuk berpartisi pasi dalam aktivitas
politik di tingkat lo kal.
2. Untuk mewujudkan local accountability, artinya dengan otonomi
akan meningkatkan kemampuan
pemerintah daerah dalam memperhatikan hak -hak masyarakat.
3. Untuk mewujudkan local responsiveness, artinya dengan otonomi daerah diharapkan akan mempermudah antisipasi terhadap berbagai masalah
yang muncul dan sekaligus
meningkatkan akselerasi pembangunan so sial dan ekonomi daerah.
Sebagai konsekuensi dari kew enangan otonomi yang luas,
Pemda D.I. Yogyakarta mempunyai kewajiban untuk
meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat secara demokratis, adil, merata, dan berkesinambungan. Untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah sat unya bisa diukur
melalui kinerja keuangan
sektor daerah dengan
menggunakan konsep Value for Money (VFM).
Penggunaan analisis kinerja berdasarkan konsep VFM belum
banyak dilakukan, sehingga
secara teori belum
ada kesepakatan secara bulat mengenai
konsep ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Meski demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis,
efektif, efisien, dan akuntabel , maka penilaian kinerja dengan konsep VFM
terhadap Pemda DIY tetap perlu dilaksanakan.
Menurut Ulum dan Murtin, (2004),
dalam Pasal 31 ayat 2 UU No. 17 Tahun 2003 mengamanatkan satuan kerja perangkat
daerah perlu membuat
Laporan Realisasi Anggaran guna menilai prestasi kinerja. Begitu pula dalam
Peraturan Pemerintah No.
108 Tahun 2000 yang berisi perlunya prestasi
kinerja kepala daerah, yaitu dengan meminta
pertanggungjawaban kepala daerah
di setiap akhir tahun anggaran
untuk menyampaikan laporan
pertanggungjawaban yang terdiri
dari Laporan Perhitungan APBD, Norma Perhitungan APBD, Laporan Arus Kas, dan Neraca Daerah
yang dilengkapi dengan penilaian kinerja. Berkaitan dengan hal tersebut,
maka penilaian kinerja sektor daerah dapat digunakan
dengan konsep Value for
Money, yang berdasarkan analisis varian.
Menurut Mardiasmo dan Jaya (1999), pemberian otonomi yang luas dan desentralisasi pada pemerintah daerah
(Kabupaten dan Kota), memberi
jalan bagi pemerintah daerah untuk melakukan
pembaharuan dalam s istem pengelolaan keuangan daerah dan
anggaran daerah. Widodo (dalam Halim, 2004) menguji kinerja keuangan
pemerintah daerah berdasarkan analisis rasio keuangan,
menganalisis rasio keuangan pada APBD Kabupaten
Boyolali Jawa Tengah period e tahun anggaran 1997-2000. Hasil studinya mengatakan bahwa kemandirian Pemda Kabupaten Boyolali
dalam memenuhi kebutuhan dana untuk penyelenggaraan
tugas -tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat masih relatif rendah
dan cenderung turun bahkan sampai
8,76%; kemudian sebagian
besar pendapatan Kabupaten
Boyolali masih diprioritaskan untuk mencukupi belanja
rutin, dan memiliki potensi
untuk melakukan pinjaman
dalam mencukupi kebutuhan belanja.
Studi lain yang berkaitan dengan kinerja Pe mda
dilakukan oleh Yuliati (dalam Halim, 2004) yang meneliti tentang
kemampuan daerah dala m menghadapi otonomi daerah di Kabupaten Malang,
dan studi Armayani
(dalam Halim, 2004) yang menguji
kinerja Pemda di Kabupaten Wajo Sulawesi
Selatan . Hasil penelitian
mereka
menunjukkan bahwa tingkat
ketergantungan Pemda terhadap
pemerintah pusat masih
sangat tinggi, bahkan dalam membiayai
belanja rutinnya.
Hastuti dan Munartono (2005) menguji k inerja keuangan
pemerintah daerah
Kota Semarang yang dihitung dengan
menggunakan rasio keuangan
terhadap APBD dan realisasi APBD sebelum dan setelah otonomi daerah. Hasil studi mereka menunjukkan sebagian
besar kinerja Pemda
Semarang antara sebelum
dan setelah otonomi
daerah tidak berbeda,
dan hanya pada rasio efektivitas dan DSCR yang signifikan.
Terdapat berbagai cara dalam menilai kinerja
finansial sektor publik, misalnya Balanced Score Card, FEE (The Federation des Expects Compatables Eurepees ), dan Value for Money (Ulum dan Murtin, 2004). Halim (2004)
mengemukakan penilaian kinerja
berdasarkan berbagai rasio keuangan, diantaranya Rasio Kemandirian Keuangan
Daerah, Rasio Efektivitas dan Efisiensi P endapatan Asli Daerah, Rasio Keserasian, Debt
Service Coverage Ratio (DSCR), dan
Rasio Pertumbuhan.
Studi ini mencoba mendasarkan konsep
penilaian kinerja finansial berdasarkan Value for Money yang
terdiri dari ekonomi,
efisiensi, dan efektivitas, serta dengan menggunakan rumus yang lebih mudah untuk diterapkan. Apabila
dicermati lebih jauh, ternyata penilaian
kinerja berdasarkan Value for Money
hampir sama dengan
Model FEE, karena keduanya
sama-sama berdasarkan ekonomi, efisiensi, dan
efektivitas.
Berdasarkan kajian teori dan beberapa hasil penelitian diatas yang berkaitan
dengan ekonomi, efisiensi dan
efektivitas, maka pengajuan hipotesis sebagai berikut: H1: Kinerja Finansial
Pemerintah Daerah DIY cukup ekonomis
H2: Kinerja Finansial
Pemerintah Daerah DIY cukup efisien
H3: Kinerja Finansial Pemerintah
Daerah DIY cukup efektif
Metoda Penelitian
Pengumpulan Data dan
Pemilihan Sampel
Pengumpulan data penelitian
menggunakan sekunder yang diperoleh dari
Biro Pusat Statistik Pemda DIY berupa data
tentang APBD dan realisasi APBD periode 2002-2004,
sedangkan sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah
APBD dan realisasi APBD Pemda DIY perioda 4
(empat) tahun.
Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Ekonomi berkaitan dengan pemerolehan
input denga n kualitas tertentu dengan harga terendah. Pengukuran ekonomi melalui rasio antara masukan
aktual dengan yang direncanakan (Lapsey
dalam Ulum dan Murtin, 2004 ). Kinerja
pemerintah daerah akan dikatakan ekonomis
bila rasionya diatas
100%, atau jumlah realisasi penerimaan melebihi jumlah anggaran yang
ditetapkan.
Rasio Ekonomi = Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah
Anggaran Penerimaan Pendapatan Asli Daerah
Efisiensi adalah pencapaian output yang maksimum dengan
input tertentu. Efisiensi dapat menggambarkan perbandingan antara besar nya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Kinerja
pemerintah daerah akan dikatakan efisien bila rasionya kurang dari 1
atau dibawah 100%, semakin kecil rasio efisiensi
berarti r asio kinerja akan semakin baik.
Rasio Efisiensi = Biaya yang
dikeluarkan untuk memungut PAD
Realisasi Penerimaan PAD
Efektif adalah tingkat pencapaian
hasil program dengan target yang ditetapkan. Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan dibandingkan de ngan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Dikatakan
efektif jika rasio yang dicapai sama dengan 1 atau 100%, namun demikian semakin tinggi
rasio efektivitas maka semakin baik.
Rasio Efektivitas = Realisasi
Penerimaan Pendapatan Asli Daerah
Target Penerimaan PAD Berdasar Potensi Riil
Metoda Analisis Data dan Pengujian Hipotesis Metoda Analisis
Pada dasarnya metoda analisis
penelitian ini digunakan metoda
analisis kualitatif dan kuantitatif. Setelah
data terkumpul, selanjutnya data yang bersifat
k uantitatif yang berwujud angka-angka hasil perhitungan atau pengukuran dapat diproses dengan
beberapa cara yaitu:
diklasifikasikan dan dianalisis.
Gambaran Obyek Penelitian
Berdasarkan Tabel 1 mengenai Penerimaan Daerah Otonom
Propinsi DIY menunjukkan bahwa
penerimaan terdiri dari Penerimaan Daerah, serta
Urusan Kas dan
Perhitungan. Dalam Penerimaan Daerah terdiri dari Sisa Le bih Tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan,
dan Penerimaan Pembangunan.
Secara absolute terlihat penerimaan daerah dari tahun 2001 ke 2004 terus meningkat. Demikian
pula jika dilihat
dari Pendapatan Asli Daerah yang terus
bertambah. Hal ini m enunjukkan kinerja keuangan Propinsi DIY cukup baik.
Tabel 1
Penerimaan Daerah Otonom Propinsi DIY Tahun
Anggaran 2001-2004 (Dalam Ribuan Rp)
Rincian
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
A. Penerimaan Daerah
|
433,827,275.00
|
452,184,422.00
|
497,215,369.00
|
581,888,751.00
|
1. Sisa Lebih Tahun Lalu
|
47,510,550.00
|
40,620,551.00
|
46,665,550.00
|
|
2.
Bagian Pendapatan Asli Daerah(PAD)
|
142,284,892.00
|
169,489,772.00
|
208,475,720.00
|
290,099,681.00
|
a. Pajak
|
123,516,267.00
|
151,400,413.00
|
181,334,683.00
|
256,636,192.00
|
b. Retribusi Daerah
|
3,964,474.00
|
4,094,953.00
|
7,965,877.00
|
9,920,690.00
|
c. Laba BUMD
|
4,385,831.00
|
7,577,808.00
|
8,168,984.00
|
13,245,721.00
|
d. Penerimaan dari Dinas-dinas
|
||||
e. Penerimaan Lainnya
|
10,418,320.00
|
6,461,598.00
|
11,006,176.00
|
10,297,078.00
|
3. Bagian Dana Perimbangan
|
244,031,833.00
|
234,634,099.00
|
234,634,099.00
|
276,844,070.00
|
a. Bagi Hasil Pajak
|
21,091,033.00
|
20,154,099.00
|
20,154,099.00
|
28,795,070.00
|
b. Bagi Bukan Hasil
Pajak
|
1,151,071.00
|
|||
c. Dana Alokasi Umum
(DAU)
|
110,234,799.00
|
214,480,000.00
|
214,480,000.00
|
248,049,000.00
|
d. Dana Alokasi Khusus
(DAK)
|
111,554,930.00
|
|||
e. Penerimaan Lainnya yang sah
|
14,945,000.00
|
|||
4.
Bagian Penerimaan Pembangunan
|
7,440,000.00
|
7,440,000.00
|
||
a. Dari Pemerintah Pusat/Pemda Kab/Kota
|
7,440,000.00
|
7,440,000.00
|
||
b. Pinjaman Pemerintah Daerah
|
||||
c. Pinjaman Untuk BUMD
|
||||
e. Penerimaan Lainnya
|
||||
B. Urusan Kas dan Perhitungan
|
22,947,361.00
|
29,459,143.00
|
27,271,986.00
|
|
Jumlah
|
456,774,636.00
|
481,643,565.00
|
524,487,355.00
|
581,888,751.00
|
Sumber: BPS APBD DIY Tahun 2001 -2004
Berdasarkan Tabel 2 mengenai Pengeluaran Daerah Otonom Propinsi DIY menunjukkan bahwa pengeluaran terdiri
dari pengeluaran Rutin,
Pengeluaran Pembangunan, dan
Urusan Kas dan Perhitungan. Dalam Pengeluaran Rutin ter bagi menjadi Belanja
Pegawai, Barang, Pemeliharaan, Perjalanan Dinas, dan lain -lain. Pengeluaran Pembangunan terdiri dari Bidang Ekonomi,
Sosial, Umum, Subsidi
Pembangunan, dan Belanja Pembangunan lain. Pada Urusan Kas dan
Pembangunan terbagi menjadi urusan
rutin, dan urusan pembangunan.
Tabel 2
Pengeluaran Daerah Otonom Propinsi DIY Tahun
Anggaran 2001-2004 (Dalam Ribuan Rp)
Rincian
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
A. Pengeluaran Rutin
|
274,975,337.00
|
359,325,447.00
|
437,747,116.00
|
127,364,651.00
|
1.
Belanja Pegawai
|
161,381,145.00
|
244,342,304.00
|
270,090,183.00
|
90,248,307.00
|
2.
Belanja Barang
|
22,351,479.00
|
27,872,156.00
|
46,998,625.00
|
14,541,797.00
|
3.
Biaya Pemeliharaan
|
3,900,172.00
|
9,316,531.00
|
20,199,497.00
|
22,574,547.00
|
4. Belanja Perjalanan Dinas
|
1,924,755.00
|
6,683,590.00
|
9,998,669.00
|
|
5.
Belanja Lain-lain
|
||||
6. Anggaran Pinjaman/Hutang/Bunga
|
218,778.00
|
209,653.00
|
200,528.00
|
|
7. Ganjaran Subsidi dan Sumbangan kpd Daerah Bawahan
|
35,708,313.00
|
55,062,558.00
|
65,017,338.00
|
|
8. Pensiun/Bantuan
|
||||
9.Pengeluaran Lain-lain
|
48,983,264.00
|
|||
10. Pengeluaran Tak Terduga
|
507,431.00
|
5,475,300.00
|
10,180,336.00
|
|
B. Pengeluaran Pembangunan
|
54,310,863.00
|
60,589,289.00
|
59,468,252.00
|
543,347,389.00
|
1.
Bidang Ekonomi
|
19,758,090.00
|
23,978,309.00
|
24,174,076.00
|
70,455,183.00
|
2.
Bidang Sosial
|
9,350,387.00
|
10,728,756.00
|
19,248,832.00
|
|
3.
Bidang Umum
|
2,477,922.00
|
25,446,724.00
|
13,747,076.00
|
212,769,586.00
|
4. Subsidi Pembangunan kpd Daerah Bawahan
|
431,464.00
|
435,500.00
|
2,298,268.00
|
158,899,388.00
|
5. Pembayaran Kembali Pinjaman
|
||||
6.
Belanja Pembangunan Lain-lain
|
15,000,000.00
|
|||
C. Urusan
Kas dan Perhitungan (UKP)
|
22,890,346.00
|
25,827,170.00
|
27,271,987.00
|
86,023,232.00
|
1. UKP Rutin
|
22,890,346.00
|
25,827,170.00
|
27,271,987.00
|
|
2. UKP Pembangunan
|
||||
Jumlah
|
352,176,546.00
|
445,741,906.00
|
524,487,355.00
|
670,712,040.00
|
Sumber: BPS APBD DIY Tahun 2001 -2004
Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa pengeluaran rutin tahun 2004 mengalami penurunan, tetapi pada pengeluaran pembangunan sangat melonjak kenaikannya yaitu 813,67% dari tahun anggaran
sebelumnya 2003. Berdas arkan data yang diperoleh
dari BPS mengenai
Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Propinsi DIY, menunjukkan format yang berbeda antara Laporan Pengeluaran tahun 2004,
dengan tahun -tahun sebelumnya. Mulai tahun 2004, format mengenai
Laporan pengeluaran daerah terbagi menjadi
Aparatur Daerah, dan Pelayanan Publik.
Adapun Format Laporan
Pengeluaran Propinsi DIY
Tahun 2004 sebagai berikut:
Tabel 3
Perbandingan Format Laporan Pengeluaran Pemda DIY Tahun
Anggaran 2004 (Dalam Ribuan Rp)
Rincian
|
Nilai
|
Rincian
|
Nilai
|
A. Pengeluaran Rutin
|
127,364,651.00
|
A. Aparatur Daerah
|
127,364,651.00
|
1.
Belanja Pegawai
|
90,248,307.00
|
1.
Belanja Administrasi Umum
|
90,248,307.00
|
2.
Belanja Barang
|
14,541,797.00
|
2. Belanja Operasi dan Pemeliharaan
|
22,574,547.00
|
3.
Biaya Pemeliharaan
|
22,574,547.00
|
3.
Belanja Modal
|
14,541,797.00
|
4. Belanja Perjalanan Dinas
|
|||
5.
Belanja Lain-lain
|
|||
6. Anggaran Pinjaman/Hutang/Bunga
|
|||
7. Ganjaran Subsidi dan Sumbangan kpd Daerah Bawahan
|
|||
8. Pensiun/Bantuan
|
|||
9.Pengeluaran Lain-lain
|
|||
10. Pengeluaran Tak Terduga
|
|||
B. Pengeluaran Pembangunan
|
543,347,389.00
|
B. Pelayanan Publik
|
543,347,389.00
|
1.
Bidang Ekonomi
|
70,455,183.00
|
1. Belanja
Administrasi Umum
|
212,769,586.00
|
2.
Bidang Sosial
|
2. Belanja Operasi dan Pemeliharaan
|
70,455,183.00
|
|
3.
Bidang Umum
|
212,769,586.00
|
3.
Belanja Modal
|
|
4. Subsidi Pembangunan kpd Derah Bawahan
|
158,899,388.00
|
4. Belanja Bagi Hasil
& Bantuan Keuangan
|
158,899,388.00
|
5. Pembayaran Kembali Pinjaman
|
5.
Biaya Tidak terduga
|
15,000,000.00
|
|
6.
Belanja Pembangunan Lain-lain
|
15,000,000.00
|
||
C. Urusan
Kas dan Perhitungan (UKP)
|
86,023,232.00
|
||
1. UKP Rutin
|
|||
2. UKP Pembangunan
|
|||
Jumlah
|
670,712,040.00
|
Jumlah
|
670,712,040.00
|
Sumber: BPS APBD DIY Tahun 2001 -2004
Analisis Konsep Value for Money
Sebelum melakukan analisis konsep Value for Money, terlebih dahulu menghitung
berapa besar jumlah
Realisasi, Anggaran, Biaya,
dan Target Penerimaan Asli Daerah yang
dapat dilihat pada
Tabel 4. Berdasarkan Tabel
4, ditunjukkan realisasi
penerimaan Pendapatan Asli Daerah dari tahun 2 001 hingga 2004 secara
absolute terus meningkat dari tahun ke tahun, demikian
pula dengan Anggaran
Penerimaan, Biaya untuk PAD, dan target Potensi PAD.
Tabel 4
Perhitungan Realisasi, Anggaran, Biaya, dan
Target PAD Tahun Anggaran 2001 - 2004
(Dalam Ribuan Rp)
Keterangan
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
Realisasi Penerimaan PAD
|
142,284,892.00
|
169,489,772.00
|
208,475,720.00
|
290,099,681.00
|
Anggaran Penerimaan PAD
|
102,982,101.00
|
162,589,759.00
|
179,759,001.00
|
248,714,437.00
|
Biaya untuk PAD
|
110,234,799.00
|
214,480,000.00
|
214,480,000.00
|
248,049,000.00
|
Target PAD Potensiil
|
127,480,741.00
|
155,450,366.00
|
189,300,560.00
|
266,556,888.00
|
Sumber: data diolah
Tabel 5
Analisis
Kinerja Finansial Propinsi DIY Berdasar Rasio Ekonomis, Efisiensi, dan Efektivitas
Tahun Anggaran 2001-2004
Keterangan
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
Rasio Ekonomi =
Realisasi Pen PAD/Angg Pen PAD
|
1.381646816
|
1.042438177
|
1.159751216
|
1.166396629
|
Rasio Efisiensi =
Biaya utk PAD/Realisasi Pen
PAD
|
0.774747041
|
1.265445091
|
1.02880086
|
0.855047476
|
Rasio Efektivitas =
Realisasi Pen PAD/target Pen PAD
|
1.11612853
|
1.090314397
|
1.101294788
|
1.088321833
|
Sumber: data diolah
Tabel 5 menampilkan analisis kinerja keuangan Propinsi
DIY dengan
berdasarkan konsep VFM yang terdiri
dari ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Hasil uji VFM menunjukkan bahwa dari tahun 2001 -2005 kinerja Propinsi
DIY cukup ekonomi s, efisien, dan efektif. Rasio Ekonomi tahun 2004 mencapai
116%, hal ini berarti realisasi
penerimaan PAD Propinsi
DIY cukup ekonomis,
karena jumlah realisasi
penerimaan lebih besar dari
jumlah anggaran.
Ditinjau dari pencapaian efisiensi, maka pada tahun 2004 kinerja finansial Propinsi
DIY efisien, karena pencapaian rasio kurang dari 100% atau sebesar 85%. Angka ini menunjukkan besarnya
biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh PAD cukup efisien, dan kinerja Propinsi DIY
cukup baik. Apabila dilihat berdasarkan efektivitas, maka kinerja keuangan
Propinsi DIY kurang baik, karena
pencapaian efektivitas melebihi
100%, yaitu 108% pada tahun 2004. H al ini menunjukkan pemerintah daerah Propinsi DIY dalam menentukan target penerimaan potensi riil PAD masih kurang,
karena jumlah realisasi penerimaan PAD lebih
besar dibanding target
yang ditentukan.
Dari hasil pengujian hipotesis yang ditampilkan pada Tabel 5
menunjukkan bahwa kinerja keuangan
Propinsi DIY cukup ekonomi, dan efisien, namun tidak efektif.
Sehingga hipotesis 1 dan 2
didukung, tetapi hipotesis 3 tidak didukung.
Tabel 6
Perkembangan Kinerja
Finansial Propinsi DIY dari
Tahun 2001- 2004
Kinerja Finansial
|
Rata-rata
|
Thn dasar 2001
|
Naik/Turun*
|
Naik/Turun*
|
Naik/Turun*
|
2002
|
2003
|
2004
|
|||
Rata-rata Ekonomi
|
1.18755821
|
0
|
(0,12)*
|
0,28*
|
0,19
|
Rata-rata Efisiensi
|
0.981010117
|
0
|
0,48
|
(0,26)*
|
(0,19)*
|
Rata-rata Efektivitas
|
1.099014887
|
0
|
0,07
|
0,11
|
0,09
|
Sumber: Data diolah
Berdasarkan Tabel 6 dengan melihat perkembangan kinerja yang
dihitung dari kinerja tahun yang bersangkutan dikurangi dengan tahun sebelumnya (t -t-1) dan dibagi dengan
rata-rata menunjukkan bahwa tingkat perkembangan kinerja finansial propinsi
DIY tidak sepenuhnya baik, karena dari tahun ke tahun tidak seluruhnya mengalami
peningkatan kinerja. Apabila dilihat dari rasio ekonomis
menunjukkan bahwa tahun 2002 turun sebesar
12%, tahun 2003 turun lagi sebesar 28%, namun pada tahun 2004 meningkat
sebesar 19%. Efisiensi finansial propinsi DIY
menunjukkan kinerja yang kurang baik, karena tahun 2003 turun
26%, dan di tahun 2004 turun lagi sebesar 19%.
Berdasarkan perkembangan efektivitas, maka kinerja Pemda Propinsi DIY cukup baik,
karena dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yaitu 11% pada tahun 2003, dan 9% pada
tahun 2004.
Penutup Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah p enerapan
konsep Value for Money yang
berdasarkan ekonomi, efisien,
dan efektif dapat digunakan untuk menilai kinerja
finansial Pemda D.I.
Yogyakarta. Penelitian ini
menggunakan sampel Pemda
D.I. Yogyakarta dengan menggunakan data
Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Propinsi D.I. Yogyakarta tahun 2001-2004.
Berdasarkan perbandingan jumlah penerimaan dan pengeluaran
Propinsi DIY dari
tahun 2001-2004 secara absolute cukup
ekonomis, efisien, dan efektif. Apabila kinerja
berdasarkan hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan konsep Value for Money, maka kinerja keuangan
Pemda DIY cukup ekonomis, dan efisien, tetapi kurang efektif.
Namun, apabila dilihat berdasarkan naik-turunnya
kinerja Pemda D.I. Yogyakarta
dengan konsep VFM, menunjukkan bahwa kinerja finansial
Pemda D.I. Yogyakarta terjadi penurunan. Berdasarkan pengujian
analisa perkembangan kinerja
selama 4 tahun menunjukkan kinerja Pemda DIY tidak sepenuhnya mengalami
peningkatan. Hanya pada kinerja efektivitas yang mengalami peningkatan dari tahun 2002 hingga 2004. Kenaikan efektivitas tahun 2004 mencapai
9%. Perkemb angan ekonomi
dan efisien tidak sepenuhnya meningkat. Pencapaian
ekonomis pada t ahun 2004
mengalami peningkatan sebesar
19%, tetapi pencapaian efisiensi turun sebesar
19% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (tahun 2003).
Keterbatasan
Ketersediaan data yang terbatas mengakibatkan penulis
mengalami kesulitan dalam menganalisis data. Oleh karena itu riset mendatang sebaiknya
lebih meninjau lagi pada
kelengkapan data sehingga analisis data akan lebih valid.
DAFTAR PUSTAKA
Ellitan, L. 2001. “Strategi
Mendongkrak Kuailtas
Pelayanan”. Jurnal Ekonomi STEI, No.15/Th.X/Januari-Maret.
Feriyanto, N.,
2001. “Penilaian terhadap
Kesiapan Pelaksanaan Otonomi Daerah
di
Propinsi
DIY”. Jurnal Penelitian Logika.
Vol.5, No. 6. Juli.
Halim, Abdul. 2004. Akuntansi Sektor
Publik: Akuntansi Keuangan
Daerah . Salemba
Empat, Jakarta.
Hamid, E.S. 2004. “Otonomi Daerah: Perspektif Teoritik dan Empirik
(Resensi buku Otonomi dan Pembangunan Daerah karangan
Mudrajat Kuncoro ,” Jurnal Ekonomi dan Pembangunan , Vol.9. No.1, Juni, UII, Yogyakarta.
Hastuti, dan Munartono, “ Kinerja Keuangan Daerah Sebelum dan Setela h Otonomi Daerah: Studi Kasus Pada Pemerintah
Daerah Kota Semarang”, Seminar Riset Ekonomi II, UNAIR Surabaya.
Kotler, P., 1998. “Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation and Control.” 9th Edition,
Prentice Hall, Inc., New York.
Mardiasmo, dan Kirana Jaya. 1999. “Pengelolaan Keuangan Daerah yang Berorientasi pada Kepentingan Publik”,
Jurnal Akuntansi, Manajemen, dan Sistem In formasi (KOMPAK) STIE ”YO”, No. 21.pp. 385-402,
Yogyakarta.
, 2000. “Reformasi Pengelolaan Keuangan Da erah: Implementasi Value for Money Audit Sebagai
Antisipasi Terhadap Tuntutan Akuntabilitas Publik.” JAAI,
Vol. 4, 1 Juni,
2000.
, 2002. “Akuntansi Sektor
Publik”, Andi Offset ,
Yogyakarta.
Republik
Indonesia, Undang-undang No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah.
Republik Indonesia, Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Primbangan Antara Pemerintah
Pusat dan Daerah.
Ulum, A.S., dan Murtin,A. 2004. “Pengukuran Kinerja
Unit Pelaksana Teknis
Dasar (UPTD) Pasar Studi Kasus Kabupaten
Sle man’, Jurnal Akuntansi
dan Investasi , Vol.5, No.1 Januari.
. 2001. D.I.
Yogyakarta Dalam Angka. Biro Pusat Statistik
. 2002. D.I.
Yogyakarta Dalam Angka. Biro Pusat Statistik
. 2003. D.I.
Yogyakarta Dalam Angka. Biro Pusat Statistik
_. 2004. D.I.
Yogyakarta Dalam Angka. Biro Pusat Statistik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar