Perhatikan misalnya definisi produk yang ada di RUU JPH yang kini telah menjadi UU, pasal 1 ayat 1 nya berbunyi : “Produk adalah makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia, produk biologi, dan produk rekayasa genetik.” Tidak ada sama sekali yang mengatur produk jasa seperti jasa keuangan asuransi, dana pensiun, perbankan, pasar modal dlsb.
Saya pikir ini bukan karena factor ketidak tahuan atau ignorance
tetapi sudah suatu kesengajaan – terlepas dari entah siapa yang
menyegajakannya. Karena dengan tidak dimasukkannya unsur produk berupa
jasa dalam UU JPH tersebut, umat ini bisa dipaksa ‘memakan’ yang haram
berupa riba dari produk jasa keuangan.
BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan misalnya, menjadi wajib untuk
diikuti oleh seluruh pegawai di negeri ini sekarang, wajib pula diikuti
penduduk negeri ini di tahun 2019 nanti. Padahal dua produk ini jelas
ribanya dan otomatis jelas keharamannya.
Apa argumen saya mengatakan ini ?, bukan saya yang mengharamkannya tetapi Fatwa MUI no 1 tahun 2004
– lah yang mengatakannya dengan dalil-dalil yang sangat kuat. BPJS
Kesehatan adalah asuransi konvensional yang dahulunya bernama ASKES
(Asuransi Kesehatan), sedangkan BPJS Ketenaga Kerjaan dahulunya
Jamsostek – keduanya masuk kategori asuransi konvensional yang
mengandung riba menurut fatwa MUI tersebut di atas.
Lebih-lebih
apabila Anda pelajari laporan keuangan masing-masing, BPJS Kesehatan
laporan keuangan tahun terakhir 2013 masih menggunakan nama ASKES – laporannya bisa Anda baca disini. Sedang BPJS Ketenagakerjaan laporan terakhirnya masih menggunakan nama Jamsostek dan bisa dibaca disini.
Ada
memang sebagian ulama yang menghalalkan BPJS ini, namun saya tidak
yakin mereka membaca dengan seksama laporan-laporan keuangan tersebut
dan disandingkan pula dengan fatwa MUI no 1 tahun 2004 tersebut di atas.
Soalnya
bila ulama ini membaca detil laporan keuangan para pengelola BPJS ini,
mereka akan tahu darimana sumber-sumber pendapatan utama mereka. Selain
iuran, pendapatan utama mereka adalah bunga deposito, bunga obligasi
konvensional, reksadana konvensional dan berbagai produk-produk keuangan
konvensional yang bila diaudit kehalalannya oleh DSN – MUI atau
teman-teman pelaku ekonomi syariah – pasti tidak lolos.
Dampak
dari reduksi makna kata produk tersebut diatas akan ada ironi besar di
negeri ini yang puncaknya adalah tahun 2019. Saat itu ketika UU JPH
berlaku penuh, penyelenggara usaha kecil makanan seperti restoran yang
tidak memiliki sertifikasi halal bisa dipenjara 1 tahun atau denda Rp 5
milyar.
Pada
tahun yang sama ketika Anda tidak ikut program BPJS – yang jelas
ribanya ini, Anda bisa dikenakan sangsi sosial , administrative dan
layanan public. Kalau individu tidak diberi KTP, paspor dlsb. kalau
perusahaan tidak diberi ijin usaha, tidak bisa mengikui tender dslb.
Lantas
bagaimana sikap kita seharusnya ? apakah kita ikuti saja dengan resiko
ikut makan riba ? atau kita menolaknya dengan resiko sangsi sosial ?
Inilah
pentingnya umat ini berjuang bersama-sama. Baru beberapa bulan lalu dua
pihak yang berseteru di negeri ini masing-masing meng-klaim
memperjuangkan kepentingan umat. Dimana mereka sekarang ? yang satu di
eksekutif membagi-bagikan riba ke masyarakat miskin. Yang satu di
legislatif berantem sendiri. Dimana keberpihakan mereka terhadap
kepentingan umat ?
Dimana
pula para aktifis HAM dan para pejuang kebebasan beragama ketika umat
yang mayoritas ini dipaksa makan yang riba ? Salah satu dosa besar yang
bisa mengeluarkan orang dari keimanannya dan diperangi oleh Allah dan
RasulNya (QS 2 : 278-279).
Saya
tidak ingin merusak euphoria rakyat yang lagi berbahagia dengan
berbagai layanan kesehatan dan pendidikan gratis, ini tanggung jawab
pemerintah untuk memberikannya. Layanan demikian tetap harus ada, tetapi
juga harus sesuai syariah.
Seperti
seorang ayah pulang ke rumah membahagiakan anak dan istrinya dengan
penghasilan yang cukup, ini kewajiban dia – tetapi dia juga harus
menjamin bahwa yang dibawa pulang tersebut bukan hasil kejahatan, bukan
hasil riba.
Maka
demikian pula kritik saya terhadap BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan,
bukan berarti institusi nya yang dibubarkan dan rakyat tidak ada yang
melayani. Kalau memang keduanya dipandang yang bisa melayani rakyat dengan baik, tinggal undang DSN MUI untuk datang meng-guide dang meng-audit mereka agar produk-produk yang bermanfaat bagi rakyat banyak – juga dipastikan kehalalannya.
Sama
pula dengan tugas pemerintah lainnya misalnya, ketika rakyat butuh
daging dan produksi dalam negeri tidak memadai – maka bisa saja mereka
mengimpor daging dari negeri lain yang non muslim. Tetapi daging yang
diimpor untuk dikonsumsi negeri dengan rakyat mayoritas muslim ini juga
harus halal bukan ?
Seperti
inilah produk jaminan sosial dan kesehatan, di negeri-negeri maju
memberi manfaat bagi kesejahteraan rakyatnya. Ketika kita ‘impor’ (tiru)
untuk negeri ini, tetap harus memperhatikan kebutuhan rakyat yang
mayoritas muslim ini – yaitu kita butuh produk yang halal.
Kita
tidak bisa menjadi negeri setengah-setengah karena negeri yang
setengah-setengah terbukti terus berantem, kita butuh negeri yang berkah
– kita butuh pertolonganNya. Dan keberkahanNya tergantung langsung
dengan keimanan dan ketakwaan kita (QS 7:96), sedangkan keimanan itu
berbanding terbalik dengan riba – orang beriman tidak makan riba, yang
makan riba bukan orang beriman. “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS 2 : 278)
Oleh : Muhaimin Iqbal
Sumber : http://geraidinar.com/using-joomla/extensions/components/content-component/article-categories/84-gd-articles/umum/1502-negeri-syariah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar