Ibarat mobil tua yang sudah harus segera dimusiumkan, cara bertani barat – yang berusaha kita ikuti
itu – sudah sangat tidak efisien sehingga tidak sustainable. Bila
dipaksakan jalan terus akan menimbulkan berbagai masalah demi masalah
dan berujung pada tidak tercukupinya kebutuhan pangan bagi masyarakat
dunia – yang seharusnya terjamin kecukupannya bila saja dikelola dengan
benar.
Ada
setidaknya lima inefisiensi yang saya pahami dari cara mereka bertani
selama ini, yang saya maksud bertani adalah bertani dalam arti luas –
termasuk peternakan, perikanan, agroforestry dlsb. Inefisiensi ini
terjadi pada penggunaan energi, penggunaan air, penggunaan lahan,
penggunaan pupuk dan dampaknya pada lingkungan.
Inefisiensi
dalam penggunaan energi terjadi mulai dari produksi bahan pangan di
lahan pertanian (on farm), transportasi, processing sampai
penyimpanannya. Ambil contohnya adalah mie instant atau roti yang kita
makan.
Gandumnya
ditanam dengan energi besar traktor-traktor pertanian, disimpan
hasilnya di gudang kemudian dikirim menempuh perjalanan lebih dari
separuh bumi, sebelum akhirnya masuk ke pabrik pengolahan tepung di
Indonesia, kemudian masih satu kali lagi masuk pabrik roti atau pabrik
mie – sebelum dikirim dan sampai ke piring kita. Bisa dibayangkan energi
yang dibutuhkan untuk ini.
Daging
impor kurang lebih juga menempuh jalan panjang semacam ini sebelum
sampai ke kita. Bahkan untuk produksi dagingnya di negeri asal mereka
sendiri, setiap 1 kcal protein hewani dibutuhakn 28 kcal energi fosil
untuk memproduksinya. Kebutuhan energi untuk produksi daging ini kurang
lebih 8 kali dari yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 kcal protein
nabati.
Pilihan
menu makanan yang berat di daging juga berdampak pada penggunaan air.
Untuk memproduksi daging 1 kg dibutuhkan tidak kurang dari 40 m3 air,
sementara pembandingnya untuk memproduksi 1 kg bahan makan nabati
dibutuhkan air rata-rata kurang dari 2 m3.
Dampak
berikutnya adalah pada penggunaan lahan, untuk memproduksi 1 kcal
energi dari bahan daging sapi misalnya dibutuhkan rata-rata lahan seluas
31 m2 - untuk memproduksi pakan serta memeliharanya. Sementara untuk
memproduksi 1 kcal yang sama dari buah dan sayur, kebutuhan lahan
rata-ratanya kurang dari 2 m2 – inipun sebelum menggunakan konsep
kebun-kebun yang rindang seperti yang saya tulis dalam ‘Daun Swasembada’.
Agar
pakan ternak tersebut terus bisa diproduksi dari hijauan dan
biji-bijian, mereka melakukan kesalahan berikutnya yaitu bertani dengan
bergantung pada pupuk-pupuk kimia yang semakin banyak. Ibarat orang
berbohong yang akan cenderung terus berbohong untuk menutupi kebohongan
sebelumnya, demikian pula dalam hal kesalahan bertani ini. Awalnya salah
memilih makanan, berdampak pada pemborosan energi, pemborosan air dan
pupuk – dan akhirnya harus ditutup dengan dampak ekonomi dan lingkungan
yang ditimbulkan oleh kesalahan awal.
Dari
sisi ekonomi biaya makanan menjadi sangat mahal dan dari sisi
lingkungan lahan-lahan pertanian menjadi sakit seperti sakitnya orang
yang kecanduan – bila tidak diberi obat (pupuk) dia tidak berproduksi
maksimal, bila diberi pupuk (lagi) dia semakin rusak/kecanduan dalam
jangka panjang. Efek spiralnya bahan makanan menjadi semakin langka dan
tentu saja menjadi semakin mahal.
Kesalahan-kesalahan
ini bukannya tidak mereka sadari, di dunia barat sendiri sekarang
berkembang trend peralihan pola makan ke arah yang mereka sebut Plant-Based Diet
– pola makan berbasis tanaman. Inipun suatu kesalahan karena tidak
semua kebutuhan tubuh kita bisa di-supply oleh makanan dari tanaman
secara menyeluruh – kita tetap butuh makan daging secara proporsional.
Maka
disinilah letaknya perbedaan kita dengan mereka, dalam hal memilih
makanan dan memproduksi bahannya-pun kita berbeda. Kita memiliki kitab
yang menunjuki kita ke jalanNya, kitab itu memberi penjelasan detil
untuk setiap kebutuhan kita – dan kitab itu membuat kita memang berbeda
dengan mereka. (QS 2:185)
Maka
bila kita mengikuti kitab ini dalam setiap aktivitas kehidupan kita,
pasti terjadi perubahan besar dan cepat – yang dalam bahasa populernya
sering disebut revolusi. Lantas di dunia makanan ini dimana revolusinya ?
Disinilah
peluangnya ! bila kita bisa me-revolusi pangan kita, bukan hanya kita
akan menjadi negeri yang swasembada pangan – tetapi insyaAllah kita bisa
menjadi pemain industri pertanian yang sangat efisien sehingga bisa
menolong negeri-negeri lain yang membutuhkannya. Kita bisa menjadi
solusi bagi pangan dunia dan bukan malah menjadi salah satu problemnya.
Lantas
darimana kita mulai revolusi pangan ini ? Kita bisa mulai mengambil
pelajaran dari kegagalan pengelolaan pangan dunia seperti gambaran
tersebut di atas - agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Bahan
makanan kita seimbang, tidak tergantung berlebihan pada daging – tetapi
juga tidak sampai ekstrim sehingga tidak makan daging sama sekali.
Secara lengkap bahan makanan kita di-guide melalui petunjukNya di surat ‘Abasa ayat 24-32 yang terdiri dari biji-bijian secukupnya, buah-buahan
dari berbagai jenis buah yang banyak, sayur-sayuran dari dedaunan yang
hijau, dan tentu juga daging dari ternak kita.
Untuk
kebutuhan daging ini utamanya dari ternak besar, kemudian yang kedua
dari jenis ikan dan yang terakhir dari jenis unnggas. Ternak besar
utamanya adalah yang digembala dan urutan prioritasnya mulai dari domba,
kambing dan baru yang terakhir sapi – karena kita tidak memiliki unta
(QS 6:143-144).
Karena
kita makan biji-bijian secukupnya – tidak terlalu bergantung padanya
juga, maka kebutuhan sawah atau lahan subur juga tidak terlalu besar.
Lahan subur khususnya sawah butuh air yang banyak, maka kita kurangi
ketergantungan pada jenis makanan yang membutuhkan lahan semacam ini.
Sebaliknya
pohon buah-buahan dan juga dedaunan hijau tidak harus dihasilkan dari
lahan subur yang banyak airnya, lahan tegalan yang marginal-pun cukup
dan bisa menghasikan buah serta hijauan yang optimal.
Karena untuk menghasilkan 1 kcal dari protein nabati hanya dibutuhkan 1/8
dari kebutuhan energi untuk protein hewani, kebutuhan airnya hanya 1/20
dan kebutuhan lahannya hanya 1/15 – maka menggeser sebagian besar
kebutuhan protein ke nabati akan menjadikan penggunaan energi, air dan
lahan menjadi sangat efisien.
Kita
masih makan daging yang juga kita produksi secara efisien karena
makannya adalah rumput sambil menyuburkan lahan-lahan kebun buah kita
tersebut (QS 16 : 10-11). Namun bila karena satu dan lain hal kita belum
bisa makan daging yang cukup, makanan dedaunan bergizi tinggi-pun dapat
mengimbangi kebutuhan protein dari daging ini.
Yang
masih harus diatasi dari protein berbasis daun bergizi tinggi tersebut
adalah produksinya. Dengan tingkat produksi yang ada sekarang memang
jadinya masih mahal – dan baru ekonomis untuk dijadikan bahan obat
herbal. Tetapi segera setelah kita memproduksinya secara TSM
(Terstruktur, Sistematis dan Masif) dengan teknik seperti yang saya
tulis dalam ‘Daun Swasembada’ – maka insyaAllah akan segera menjadi murah dan available secara luas.
Proporsi
makanan yang berat di nabati inipun tidak harus membuat kita tergantung
pada pupuk kimia. Semua sumber pupuk dan obat-obatan pertanian bisa digantikan dengan limbah peternakan maupun sisa hasil pertanian kita sendiri.
Unsur-unsur
makro yang dibutuhakn oleh seluruh tanaman seperti N, P dan K tersedia
cukup pada kotoran ternak – khususnya kencing domba. Unsur NPK ini juga
dapat dihasilkan secara cukup dari ekstrak daun kelor (Moringa oleifera)
dan juga dari kulit pisang, sehingga kita bisa bener-bener bertani
tanpa harus melibatkan bahan kimia.
Bahkan
untuk obat penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur, bakteri dan
bahkan virus semuanya juga bisa dibuat dari ekstrak daun zaitun yang
memang bersifat antifungal, antibacterial dan antiviral.
Jadi dari dua daun saja – yaitu daun zaitun dan daun kelor – kita sudah
bisa memproduksi pupuk dan juga obat yang cukup bagi tanaman-tanaman
kita.
Setelah
komposisi makanan kita sudah jelas, tinggal bagaimana kita
memproduksinya dengan se efisien mungkin. Dengan lahan yang terbatas,
dengan air yang sedikit dan nyaris tanpa energi-pun kita harus bisa
menanam dan menghasilkan bahan makanan yang banyak – untuk memberi makan
bagi milyaran penduduk dunia yang membutuhkannya.
Bagaimana
dengan yang serba sedikit tersebut (lahan, air dan energi) bisa terus
tersedia bahan makanan yang cukup bagi manusia yang terus bertambahan
banyak ? Inilah jawaban yang tidak sepenuhnya harus bisa dijelaskan
dengan ilmu manusia – inilah yang disebut berkah.
Keberkahan
hanya bisa hadir dengan keimanan dan ketakwaan, demikian pula jaminan
kecukupan rezeki dari bawah kaki kita dan dari atas kita hanya terjadi
bila kita mengikuti petunjuk di kitabNya.
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS 7:96)
“Dan
sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan(mendirikan/menegakkan)
Taurat, Injil dan (Al Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari
Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.” (QS 5 :66)
Dengan
berkahNya kita bisa menanam pohon atau tanaman yang sangat rindang
/padat (QS 80:30) di tanah yang sempit sekalipun, tanaman kita bukan
menyerap air tetapi malah memancarkan mata air (QS 36:34), bukan
menghabiskan energi malah menghasilkan energi (QS 36:80 ; QS 56 :71-72
dan QS 24:35), tanaman-tanaman kita menghasilkan makanan yang cukup bagi
seluruh penduduk negeri tanpa ada yang merusak lingkungan – malah
sebaliknya menjadikan negeri kita negeri yang baik dan indah dan
Allah-pun mengampuni dosa-dosa kita (QS 34:15). Inilah revolusi yang
layak untuk kita perjuangkan bersama. InsyaAllah.
Sumber : http://geraidinar.com/using-joomla/extensions/components/content-component/article-categories/81-gd-articles/entrepreneurship/1510-revolusi-pangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar